Memasuki 100 hari pertama masa jabatannya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menjadi sorotan tajam publik dan media. Berdasarkan survei gabungan dari The Washington Post dan ABC News, hanya 39 persen warga AS yang menyatakan puas dengan kinerjanya sejauh ini. Angka tersebut menjadikannya salah satu presiden dengan tingkat kepuasan terendah dalam 100 hari pertama masa jabatan dalam sejarah modern Amerika.
Penurunan kepercayaan ini datang meskipun Trump tetap menunjukkan rasa percaya diri tinggi. Ia memilih merayakan tonggak 100 hari kekuasaan bukan dengan pidato kenegaraan atau konferensi pers, melainkan dengan kampanye besar-besaran di Michigan—negara bagian penting yang membantunya menang dalam pemilu melawan Kamala Harris pada November lalu.
Kebijakan Kontroversial: Berani Tapi Mengguncang
Sejak pelantikannya, Trump telah menjalankan sejumlah kebijakan yang dianggap berani namun memicu kontroversi luas. Ia menetapkan tarif impor besar-besaran pada produk asing, langkah yang disebut sebagai bentuk proteksionisme ekonomi untuk melindungi industri dalam negeri. Ia juga memangkas tenaga kerja federal dalam koordinasi dengan sekutunya, Elon Musk, serta menghentikan sejumlah bantuan luar negeri yang selama ini menjadi bagian dari diplomasi AS.
Namun, pendekatan agresif ini justru menimbulkan gejolak pasar. Bursa saham Wall Street mencatat penurunan lebih dari 6 persen sejak Trump menjabat, meskipun sempat terjadi pemulihan tipis setelah muncul wacana pelonggaran tarif otomotif.
Tak hanya ekonomi, kebijakan imigrasi juga menjadi sorotan tajam. Trump memperketat aturan masuk ke AS, termasuk penerapan deportasi cepat tanpa proses hukum. Banyak organisasi HAM dan pengacara imigrasi menyebut kebijakan ini sebagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hukum internasional dan hak asasi manusia.
Kritik Oposisi: “100 Hari Gagal”
Partai Demokrat dengan cepat memanfaatkan momen ini untuk melancarkan serangan politik. Dalam pernyataan resmi, Komite Nasional Demokrat menyebut 100 hari pertama Trump sebagai “kegagalan besar”, dengan menuding kebijakannya sebagai penyebab memburuknya kondisi ekonomi masyarakat.
“Trump bertanggung jawab atas fakta bahwa hidup makin mahal, pensiun makin sulit dicapai, dan ekonomi berada di ambang jurang,” tegas pernyataan mereka.
Mereka juga menyoroti janji-janji besar Trump yang belum terpenuhi, termasuk janjinya untuk mengakhiri perang Ukraina dalam waktu 24 jam. Belakangan, Trump menyebut klaim tersebut sebagai “candaan,” meskipun menurut laporan CNN, ia telah mengulang janji itu lebih dari 50 kali selama masa kampanye.
Loyalitas Tak Goyah
Meskipun popularitasnya secara nasional menurun, Trump tetap menikmati dukungan kuat dari basis pemilih setianya. Dalam kampanye di Michigan, banyak pendukung menyatakan keyakinan penuh bahwa Trump tetap berada di jalur yang benar.
“Dia luar biasa. Orang-orang terlalu khawatir soal tarif. Kami tidak peduli—lihat saja hal lain yang mulai berjalan,” ujar Donna Fitzsimons, 65 tahun, seorang penjual suvenir yang hadir dalam kampanye.
Trump sendiri menegaskan bahwa seluruh janji kampanyenya sudah selesai atau dalam proses penyelesaian. Namun beberapa kebijakan yang digulirkan, seperti penghapusan dana pendidikan tinggi dan wacana pencabutan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran, memunculkan pertanyaan serius tentang batas kekuasaan seorang presiden.
Ujian Kepemimpinan Masih Panjang
Seratus hari pertama kerap dianggap sebagai indikator awal arah pemerintahan seorang presiden. Dalam kasus Trump, periode ini dipenuhi dengan langkah-langkah besar, respons keras dari oposisi, dan efek nyata terhadap ekonomi serta politik dalam negeri.
Meski begitu, jalan kepemimpinannya masih panjang. Tantangan global, krisis domestik, dan janji-janji yang belum terpenuhi akan terus menjadi ujian nyata bagi kepemimpinannya di tahun-tahun mendatang.
Baca Juga : Di Balik Layar Judi Online: Kisah WNI di Kamboja