Purworejo, Jawa Tengah — Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang serba cepat dan pragmatis, kisah sederhana dan penuh makna dari seorang perempuan lansia bernama Surtinah menjadi oase inspiratif. Perempuan berusia 67 tahun ini bukanlah pejabat, pengusaha, ataupun selebritas. Ia hanya seorang tukang pijat bayi dari Dusun Bleber, Desa Krandegan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo. Namun berkat ketekunan, kesabaran, dan ketulusan hatinya, Surtinah akhirnya akan berangkat menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci pada 28 Mei 2025.
Surtinah telah menjalani profesinya sebagai pemijat bayi sejak 28 tahun lalu. Ia belajar keahlian itu secara turun-temurun dari neneknya dan menjalankannya bukan hanya sebagai mata pencaharian, tetapi juga sebagai bentuk pengabdian dan warisan budaya lokal. Di kampungnya, ia dikenal sebagai sosok yang rendah hati dan tak pernah mematok harga atas jasanya. Sering kali, ia memijat bayi tanpa bayaran, hanya diberi beras, makanan, atau sekadar ucapan terima kasih. Namun dari jasa yang dianggap sepele itu, Surtinah perlahan menabung sedikit demi sedikit.
“Kadang dapat Rp5.000, Rp10.000. Kalau ada rezeki, saya sisihkan. Kalau tidak ya sabar. Saya percaya, Allah lihat niat saya,” ujar Surtinah kepada wartawan Detik Jateng, dengan mata berkaca-kaca.
Dalam jangka waktu hampir tiga dekade, Surtinah tidak hanya mengumpulkan uang, tetapi juga mengumpulkan doa, harapan, dan semangat pantang menyerah. Dengan sistem keuangan yang sangat sederhana—tidak ada tabungan digital, tidak ada investasi modern—ia menyimpan uang hasil memijat dalam bentuk tunai di tempat yang aman di rumahnya, sebelum akhirnya mendaftar haji beberapa tahun lalu.
Dari Pijat Tradisional ke Tanah Suci
Tradisi memijat bayi merupakan budaya yang kuat di pedesaan Jawa, termasuk di Purworejo. Profesi ini tidak hanya berperan dalam kesehatan, tetapi juga bagian dari ritual sosial yang mempererat ikatan antarwarga. Surtinah tidak pernah tergoda untuk meninggalkan pekerjaannya demi profesi lain yang mungkin lebih menguntungkan.
Keikhlasan Surtinah dalam melayani warga membuatnya dihormati dan disayangi. Ketika kabar keberangkatannya ke Tanah Suci tersebar, warga kampung ramai-ramai datang untuk mengucapkan selamat, bahkan membantu keperluan administrasi dan logistik keberangkatan haji.
“Beliau itu contoh orang sabar dan penuh keikhlasan. Kami bangga ada warga seperti Bu Surtinah,” ujar Kepala Desa Krandegan.
Bukan Kisah Tunggal: Potret Keikhlasan dari Penjuru Negeri
Surtinah bukan satu-satunya perempuan tua dengan profesi sederhana yang berhasil mewujudkan mimpi berhaji. Di berbagai daerah Indonesia, kisah serupa menjadi inspirasi nasional.
Di Jombang, Jawa Timur, seorang tukang pijat bayi bernama Solati, yang kini berusia 94 tahun, berhasil menunaikan ibadah haji pada 2023 setelah menabung selama 64 tahun. Ia bahkan tetap melayani masyarakat secara gratis jika pasien tidak mampu membayar. Ia menyimpan tabungannya dalam kaleng dan plastik, tanpa pernah mengeluh tentang keterbatasan ekonomi.
Sementara itu di Probolinggo, seorang nenek berusia 100 tahun bernama Ngatima berhasil menunaikan ibadah haji pada 2024 setelah menabung selama puluhan tahun, meskipun sempat kehilangan Rp 34 juta karena tertipu. Ia tetap melanjutkan niat sucinya dan akhirnya berangkat dari hasil jerih payahnya sebagai tukang pijat.
Di Surabaya, Supiyah (60), menabung selama 24 tahun dari hasil memijat keliling dan menyisihkan uang Rp 10.000 per hari. Meski hasilnya tak seberapa, semangat dan tekadnya membuahkan hasil. Pada 2024, ia akhirnya berangkat ke Tanah Suci.
Pelajaran tentang Niat, Kesabaran, dan Rezeki yang Tak Terduga
Kisah-kisah seperti Surtinah, Solati, Ngatima, dan Supiyah membantah persepsi bahwa ibadah haji hanya dapat diakses oleh orang kaya. Mereka menunjukkan bahwa dengan niat yang kuat, kerja keras, dan sabar menanti, pintu ke Tanah Suci akan terbuka.
Surtinah sendiri berharap kisah hidupnya bisa menjadi motivasi bagi generasi muda agar tidak cepat menyerah dan selalu percaya bahwa impian bisa tercapai walau harus ditempuh dalam waktu yang panjang.
“Selama kita niat baik, insyaallah Allah bukakan jalan,” ujarnya pelan, sambil menggenggam buku manasik hajinya.
Kini, dengan persiapan matang dan doa yang tak pernah putus, Surtinah bersiap menuju salah satu perjalanan spiritual terbesar dalam hidupnya. Bukan hanya membawa nama pribadi, tetapi juga harapan dan kebanggaan seluruh warga kampung kecilnya di Purworejo.
Baca Juga : Prabowo Targetkan Biaya Haji Lebih Murah dari Malaysia