Total Football dan Dilema Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia 2026
Belanda, sebagai tanah kelahiran filosofi total football, telah merevolusi cara permainan sepak bola dipandang. Filosofi ini menekankan bahwa sepak bola bukan sekadar mencetak gol, tetapi juga seni yang mengutamakan keindahan permainan melalui kerja sama antarlini.
Gaya menyerang yang menjadi ciri khas total football memberikan perspektif baru bahwa sepak bola bisa dimainkan dengan menekan lawan sepanjang pertandingan. Namun, akhir-akhir ini, banyak suporter menuntut agar setiap tim menerapkan filosofi tersebut secara mutlak, tanpa mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan tim.
Kehadiran total football juga membuat gaya catenaccio, yang menitikberatkan pertahanan kokoh dan serangan balik, dianggap usang dalam era sepak bola modern. Namun, dalam sepak bola, yang terpenting bukan hanya gaya bermain, tetapi juga hasil akhir.
Hal ini juga menjadi dilema bagi Timnas Indonesia. Ada pihak yang menginginkan permainan indah, sementara yang lain lebih mengutamakan hasil. Saat ini, Timnas Indonesia tengah mencari identitasnya—apakah akan mengadopsi permainan atraktif ala total football atau menerapkan pendekatan pragmatis demi meraih kemenangan.
Kekalahan dari Australia dan Tantangan Tim Garuda
Timnas Indonesia baru saja mengalami kekalahan telak 1-5 dari Australia dalam lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia di Sydney Stadium, Kamis malam WIB. Hasil ini semakin menyulitkan langkah Garuda di Grup C, di mana mereka kini berada di posisi keempat dengan enam poin, tertinggal 13 poin dari Jepang di puncak klasemen dan empat poin dari Australia di posisi kedua—zona otomatis lolos ke Piala Dunia.
Rekor pertemuan dengan The Socceroos juga tidak berpihak pada Indonesia. Sejak 1973, Tim Garuda belum pernah menang melawan Australia dalam sepuluh pertemuan di semua kompetisi, dengan catatan dua kali imbang dan delapan kekalahan.
Kehadiran Patrick Kluivert sebagai pelatih membawa nuansa sepak bola Belanda ke dalam permainan Indonesia. Sejak ditunjuk pada Januari lalu, Kluivert mulai menerapkan strategi penguasaan bola dan tekanan tinggi. Bahkan, dalam laga melawan Australia, Indonesia mencatatkan 60% penguasaan bola—angka tertinggi sepanjang tujuh pertandingan di putaran ketiga kualifikasi.
Namun, meski mendominasi permainan, Tim Garuda masih kesulitan dalam penyelesaian akhir. Koordinasi lini belakang juga masih menjadi kelemahan utama, terlihat dari gol-gol yang dicetak Australia melalui Nishan Velupillay, Lewis Miller, dan Jackson Irvine. Secara keseluruhan, pertahanan Indonesia sudah kebobolan sembilan kali dalam enam pertandingan sebelumnya, menunjukkan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Tiga Laga Penentuan Menuju Piala Dunia 2026
Dengan tiga pertandingan tersisa di Grup C, Indonesia harus berjuang maksimal untuk mengamankan poin demi menjaga peluang lolos ke Piala Dunia 2026. Permainan atraktif tidak akan berarti jika tidak diiringi dengan hasil positif di sisa laga.
Saat ini, Indonesia masih memiliki peluang untuk lolos ke putaran keempat, yang menyisakan dua tiket tambahan. Meski secara matematis sulit mengejar posisi kedua, Garuda masih bisa bersaing dengan Australia dan Arab Saudi untuk memperebutkan peringkat ketiga atau keempat.
Dalam waktu empat hari ke depan, Kluivert harus melakukan evaluasi menyeluruh sebelum menghadapi Bahrain di Stadion Gelora Bung Karno pada Selasa (25/3). Tiga pertandingan tersisa akan menjadi penentu apakah Indonesia mampu melangkah lebih jauh atau harus mengubur mimpi tampil di Piala Dunia 2026.