Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI), Sunarso, memberikan tanggapannya terkait wacana pemutihan kredit bagi sekitar 5 hingga 6 juta petani dan nelayan yang sebelumnya memiliki utang namun tidak mampu melunasinya. Menurut Sunarso, kebijakan ini sudah lama dinantikan, terutama oleh pihak bank BUMN seperti BRI.
“Kami memang telah menunggu kebijakan yang memperbolehkan bank BUMN melakukan penghapusan tagihan,” ujar Sunarso saat menyampaikan laporan kinerja BRI untuk kuartal III 2024, pada Rabu (30/10/2024).
Ia menjelaskan bahwa selama ini, bank-bank milik negara enggan mengambil langkah hapus tagih karena adanya regulasi yang menganggap penghapusan utang sebagai potensi kerugian negara. Oleh karena itu, Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) menyambut baik jika akhirnya kebijakan ini benar-benar diberlakukan.
Sunarso menekankan bahwa penentuan kriteria utang yang layak dihapus menjadi aspek penting untuk menghindari moral hazard, yaitu potensi penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Dari sisi internal, BRI telah menghitung potensi dampak finansial dari kebijakan ini dan siap memasukkannya ke dalam perencanaan keuangan tahun depan, jika peraturan tersebut resmi diterapkan.
“Selama pelaksanaannya tidak menimbulkan moral hazard, kami sudah memperkirakan dampaknya terhadap kinerja keuangan BRI dan akan memasukkannya dalam rencana keuangan 2025,” jelas Sunarso.
Ia juga menambahkan bahwa kebijakan penghapusan dari daftar hitam kredit (blacklist) sangat penting agar masyarakat, khususnya petani dan nelayan, dapat kembali mengakses pembiayaan dan mengembangkan usaha mereka. Di sisi lain, penghapusan utang oleh bank bukan berarti negara mengalami kerugian, tetapi lebih kepada pemberian kesempatan kedua bagi masyarakat untuk bangkit.