Kejaksaan Agung telah mengungkap asal-usul dana suap yang diterima oleh tiga hakim yang kini menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap terkait putusan lepas (ontslag) dalam perkara korupsi fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
” Untuk mengurus perkara korupsi korporasi minyak goreng dengan permintaan agar perkara tersebut diputus ontslag dengan menyiapkan uang sebesar Rp20 miliar “
Ketiga hakim yang dimaksud adalah DJU (Djuyamto), ASB (Agam Syarif Baharudin), dan AM (Ali Muhtarom), yang ditetapkan sebagai tersangka pada Minggu, 13 April.
“Dana sebesar Rp20 miliar disiapkan untuk mengurus kasus korupsi korporasi minyak goreng, dengan permintaan agar perkara tersebut diputus ontslag,” jelas Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, dalam konferensi pers yang digelar dini hari di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta.
Menurut Qohar, berdasarkan pemeriksaan terhadap tujuh saksi pada hari yang sama, ditemukan adanya kesepakatan antara tersangka AR (Ariyanto), pengacara dari pihak korporasi yang terlibat dalam kasus, dan WG (Wahyu Gunawan), panitera muda perdata di PN Jakarta Utara, untuk mengatur hasil perkara.
Kesepakatan tersebut kemudian dilaporkan WG kepada MAN (Muhammad Arif Nuryanta), yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat. MAN menyetujui permintaan tersebut, namun menaikkan nilai suap dari Rp20 miliar menjadi tiga kali lipat, atau total Rp60 miliar.
Setelah mendengar permintaan itu dari WG, tersangka AR menyetujui dan menyerahkan uang sebesar Rp60 miliar dalam bentuk dolar AS kepada WG, yang kemudian meneruskannya kepada MAN. Sebagai imbalan atas peran perantaranya, WG menerima pembayaran sebesar 50.000 dolar AS dari MAN.
“Dengan kata lain, Wahyu Gunawan juga mendapat bagian dari transaksi tersebut,” ujar Qohar.
Selanjutnya, MAN menunjuk susunan majelis hakim yang terdiri dari DJU sebagai ketua, ASB sebagai anggota, dan AM sebagai hakim ad hoc.
Setelah surat penetapan sidang diterbitkan, MAN memanggil DJU dan ASB, lalu memberikan uang dalam bentuk dolar yang nilainya sekitar Rp4,5 miliar sebagai ‘uang membaca berkas’ dan menyampaikan bahwa perkara tersebut harus diperhatikan secara khusus.
Dana tersebut kemudian dibagi oleh DJU kepada ASB dan AM. Tak lama setelah itu, MAN kembali menyerahkan uang dalam bentuk dolar senilai Rp18 miliar kepada DJU, yang kemudian dibagi lagi: Rp6 miliar untuk DJU, Rp4,5 miliar untuk ASB, dan Rp5 miliar untuk AM.
“Ketika para hakim menyadari bahwa uang yang mereka terima bertujuan agar perkara diputus lepas, hal itu benar-benar terjadi, terbukti dari putusan ontslag pada 19 Maret 2025 oleh majelis hakim,” jelas Qohar.
Atas tindakan tersebut, ketiga hakim dikenakan Pasal 12 huruf c jo. Pasal 12 huruf b jo. Pasal 6 ayat (2) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dengan penetapan tiga tersangka baru ini, jumlah total tersangka dalam kasus ini menjadi tujuh orang. Sebelumnya, Kejaksaan Agung telah menetapkan empat tersangka lainnya: WG (panitera muda perdata PN Jakarta Utara), MS (advokat), AR (advokat), dan MAN, yang kini menjabat sebagai Ketua PN Jakarta Selatan, namun saat kasus berlangsung masih menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.