Minyak Bangkit, Sanksi Baru AS ke Iran & Harapan Damai Dagang

Faqih Ahmd

Foto: PT Pertamina Hulu Energi (PHE) sebagai Subholding Upstream Pertamina mencatatkan produksi migas sebesar 1,04 juta barel setara minyak per hari (MBOEPD) pada Kuartal III 2024. (Doc PHE)

Kenaikan harga minyak Brent menjadi kabar positif setelah sebelumnya sempat turun hingga 3,6% dalam sepekan terakhir, akibat potensi tercapainya kesepakatan nuklir antara Iran dan AS serta tekanan dari pernyataan Presiden AS Donald Trump terkait kebijakan suku bunga The Fed.

Namun, pada Selasa waktu setempat, Departemen Keuangan AS mengumumkan sanksi baru yang ditujukan kepada jaringan distribusi gas alam cair dan minyak mentah yang dimiliki oleh seorang konglomerat energi asal Iran. Keputusan ini kembali memicu kekhawatiran mengenai kelangsungan pasokan minyak Iran ke pasar global.

“Jika kesepakatan nuklir gagal tercapai, bisa saja ekspor minyak Iran benar-benar berhenti,” ujar John Kilduff, mitra di Again Capital, kepada Reuters.

Di sisi lain, optimisme mengenai kemungkinan meredanya ketegangan dagang antara AS dan China juga mendorong kenaikan harga minyak. Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, mengindikasikan bahwa konflik dagang dengan Tiongkok kemungkinan tidak akan berlanjut ke level yang lebih tinggi, meskipun belum ada pembicaraan resmi yang dimulai.

Meski begitu, pelaku pasar masih mewaspadai dampak negatif terhadap ekonomi global dari tarif impor AS yang dikenakan ke berbagai negara. Dana Moneter Internasional (IMF) pun menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk tahun 2025, yang dikhawatirkan dapat mengurangi permintaan energi secara global.

Sementara itu, dari sisi pasokan, data American Petroleum Institute (API) menunjukkan bahwa persediaan minyak mentah AS turun sebanyak 4,6 juta barel dalam seminggu terakhir—jauh lebih besar dibandingkan prediksi para analis. Kini pasar menantikan laporan resmi dari Energy Information Administration (EIA) yang dijadwalkan rilis pada Rabu malam waktu Indonesia.

Kenaikan harga minyak yang terjadi selama dua hari berturut-turut ini berhasil memangkas penurunan yang berlangsung sejak awal April, ketika harga Brent sempat merosot dari level sekitar US$75 per barel. Ke depan, arah harga minyak akan sangat ditentukan oleh perkembangan negosiasi geopolitik dan rilis data ekonomi utama.

Penulis:

Faqih Ahmd

Related Post

Tinggalkan komentar