Curhat Pemilik Restoran Tangsel Dipalak Rp3 Juta per Bulan Agar Aman

Faqih Ahmd

Foto: Ilustrasi Uang. (Dok. Pinterest)

Seorang pemilik restoran di kawasan padat penduduk di Tangerang Selatan mengungkapkan adanya praktik pungutan rutin bulanan dari sejumlah pihak di lingkungan sekitarnya.
Pemilik usaha yang meminta identitasnya dirahasiakan ini mengaku sejak mulai beroperasi pada 2020, ia diminta membayar Rp3 juta setiap bulan.

Pungutan tersebut, katanya, tidak hanya dilakukan oleh satu kelompok, melainkan melibatkan gabungan pemuda lingkungan, karang taruna, serta pengurus RT, RW, dan tokoh masyarakat. Mereka biasanya datang bersama-sama untuk meminta uang yang disebut sebagai “kontribusi masyarakat.”

“Dulu mereka datang rombongan. Intinya ya minta setor uang, katanya untuk kepentingan masyarakat, walau yang menerima ya tetap pihak-pihak seperti ormas, RT, RW, karang taruna,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (25/4).

Awalnya, pemilik restoran itu menolak permintaan tersebut karena merasa tidak ada dasar hukum yang mengikat antara dirinya dengan pihak yang melakukan pungutan.

Namun, penolakannya berujung pada intimidasi dan tekanan sosial, bahkan ada ancaman untuk menutup restorannya.

“Waktu saya belum mau bayar, suasananya memanas. Restoran saya sering didatangi dan diganggu, bahkan pernah ada yang mabuk datang. Sampai saya dipanggil ke kelurahan karena usaha saya disebut-sebut menimbulkan masalah sosial,” katanya.

Situasi mereda setelah adanya pertemuan dengan salah satu tokoh masyarakat yang menjadi perantara, di mana akhirnya disepakati bahwa ia bersedia membayar dengan dua ketentuan.

Pertama, ia tidak ingin lagi menerima proposal sumbangan dalam bentuk apapun dari siapa pun. Kedua, bila terjadi masalah sosial atau gangguan terhadap usahanya, pihak kelompok tersebut harus bertanggung jawab menyelesaikannya.

“Kalau saya sudah bayar tiap bulan, berarti jangan diganggu lagi. Dan kalau ada masalah, biar mereka yang urus. Sejauh ini, ya lumayan aman. Mereka juga membantu jaga,” jelasnya.

Selama hampir lima tahun menjalankan usaha, ia memperkirakan telah mengeluarkan sekitar Rp180 juta. Dana tersebut dikelola dan disalurkan oleh kelompok tersebut ke berbagai pihak di lingkungan, walau penggunaannya tidak selalu transparan.

“Saya anggap saja ini semacam pajak informal agar bisa tetap berusaha di tengah masyarakat,” tambahnya.

Meski demikian, ia mengaku tidak setuju dengan praktik seperti ini yang dinilainya mendekati perilaku premanisme. Namun, dengan mempertimbangkan situasi sosial dan keamanan, ia memilih menyelesaikan masalah secara damai dibandingkan melibatkan aparat atau mencari perlindungan eksternal.

“Banyak yang menyarankan saya minta bantuan polisi atau tentara, tapi akhirnya sama saja, tetap keluar uang. Jadi saya lebih memilih mengelola sendiri dan menjaga hubungan baik dengan warga,” katanya.

Ke depannya, ia berharap bisa menjalankan usahanya dengan lebih nyaman tanpa tekanan pungutan seperti itu.

Ia juga menginginkan agar masyarakat bisa lebih profesional dalam mendukung usaha, misalnya dengan menjadi pemasok atau mitra bisnis resmi, bukan hanya menarik iuran.

“Kalau bisa, kontribusi warga ke usaha saya itu lebih nyata. Misalnya bantu pasokan bahan baku atau menjaga keamanan, bukan minta setoran bulanan,” pungkasnya.

Penulis:

Faqih Ahmd

Related Post

Tinggalkan komentar