Gencatan Senjata Putin: Tanda Damai atau Strategi Politik?”

Khafiza Yuliana

Volodymyr Zelensky, Presiden Ukraina. (Sumber: Anadolu Agency)

Ketegangan yang terus membara antara Rusia dan Ukraina menunjukkan sinyal mereda, meski belum pasti akan berujung damai. Presiden Rusia Vladimir Putin secara mengejutkan mengumumkan rencana gencatan senjata sepihak selama tiga hari yang akan diberlakukan pada 8–10 Mei mendatang. Keputusan ini disebut sebagai bentuk penghormatan terhadap peringatan tahunan Hari Kemenangan Rusia atas Nazi Jerman pada Perang Dunia II.

Pernyataan resmi dari Kremlin menyebutkan bahwa Rusia terbuka untuk melakukan pembicaraan damai tanpa syarat, meskipun tetap mengancam akan merespons bila Ukraina melanggar ketentuan selama gencatan berlangsung. Langkah ini ditanggapi skeptis oleh banyak pihak, mengingat pernyataan serupa pernah disampaikan sebelumnya tanpa diikuti tindakan konkret di lapangan.

Sementara itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyuarakan kekecewaannya terhadap langkah Rusia yang dinilainya hanya bersifat simbolis. Dalam pidatonya, Zelensky menegaskan bahwa jeda kemanusiaan tidak seharusnya didasarkan pada kalender atau hari-hari peringatan, melainkan pada kepedulian terhadap nyawa manusia. Ia menyerukan agar penghentian kekerasan dilakukan segera, tanpa harus menunggu momentum tertentu.

Dari sisi lain dunia, Presiden Amerika Serikat Donald Trump ikut mengambil peran. Dalam pernyataan terbarunya, Trump mendesak kedua belah pihak untuk menyetujui gencatan senjata permanen selama sedikitnya 30 hari. Usulan itu diiringi dengan tawaran kompromi yang kontroversial, yakni pengakuan resmi terhadap kekuasaan Rusia atas wilayah Crimea dan beberapa daerah pendudukan lainnya. Namun, usulan ini belum mendapat tanggapan positif dari Ukraina, dan dianggap belum memenuhi seluruh tuntutan Moskow—terutama soal keanggotaan Ukraina di NATO dan keinginan Rusia agar pemerintahan Zelensky diganti.

Meskipun wacana perdamaian mulai muncul, kenyataan di lapangan berkata lain. Serangan udara dan rudal dari Rusia terhadap wilayah-wilayah Ukraina, termasuk Kyiv dan kota Kostiantynivka, masih berlangsung. Ukraina menilai Rusia tidak benar-benar berniat menghentikan konflik, dan menyebut tawaran damai tersebut sebagai strategi politik belaka.

Pengamat internasional memperingatkan bahwa perang ini tidak hanya akan ditentukan oleh diplomasi semata, melainkan juga oleh dinamika politik dalam negeri masing-masing negara. Di satu sisi, Putin mendapat tekanan untuk menunjukkan kemenangan strategis, sementara di sisi lain, Zelensky harus menjaga moral warganya dan mempertahankan integritas wilayah negaranya.

Masyarakat global kini menanti: apakah ini akan menjadi titik balik menuju perdamaian yang nyata, atau hanya sekadar jeda dalam konflik yang belum menunjukkan tanda-tanda akhir?

Penulis:

Khafiza Yuliana

Related Post

Tinggalkan komentar