Kontrak Politik Tahun 2009 Kembali Disorot di Hari Buruh 2025, Realisasi Masih Dipertanyakan
Isu mengenai sistem kerja outsourcing kembali mencuat ke permukaan dalam momentum peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day, Rabu, 1 Mei 2025. Di tengah berbagai tuntutan buruh kepada pemerintah, publik kembali mengingat kontrak politik yang pernah ditandatangani oleh Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto pada pemilu 2009 silam. Dalam kontrak itu, keduanya secara tegas menyatakan komitmen mereka untuk menghapus praktik outsourcing di Indonesia—sebuah janji yang hingga kini masih menjadi tanda tanya besar mengenai realisasinya.
Kontrak politik itu diteken ketika Megawati dan Prabowo maju bersama sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pada Pilpres 2009. Di hadapan ribuan buruh yang berkumpul kala itu, mereka menandatangani perjanjian politik sebagai bentuk keberpihakan terhadap kaum pekerja.
Salah satu poin utama dari kontrak tersebut adalah janji untuk menghapus sistem kerja outsourcing yang dianggap merugikan pekerja dan menciptakan ketidakpastian kerja. Selain itu, mereka juga berkomitmen menjadikan Hari Buruh Internasional sebagai hari libur nasional—sebuah janji yang akhirnya terwujud di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2014.
Dalam pernyataan publik saat itu, Prabowo Subianto menegaskan bahwa kontrak politik yang mereka tandatangani merupakan bentuk nyata dari keseriusan pasangan Megawati-Prabowo dalam memperjuangkan hak-hak buruh. Ia menyatakan bahwa di hari lahir Bung Karno, mereka menyatakan kesungguhan untuk melawan segala bentuk eksploitasi terhadap pekerja, termasuk sistem outsourcing yang tidak memberikan jaminan masa depan.
“Di hari kelahiran Bung Karno ini, kami menyatakan akan berjuang dengan sekuat tenaga untuk menghapus praktik outsourcing di tanah air,” ucap Prabowo dalam pidatonya waktu itu. Ia menambahkan bahwa langkah ini bukan hanya simbolis, tapi merupakan bagian dari strategi besar membangun kehidupan bangsa yang adil dan berkeadilan sosial.
Tak hanya untuk buruh, Prabowo juga menyebut bahwa pihaknya akan membuat kontrak politik serupa dengan elemen masyarakat lain seperti petani, nelayan, pedagang pasar, dan mahasiswa. Ia ingin memastikan bahwa semua lapisan masyarakat mendapat perhatian dan perlindungan dari negara.
Sementara itu, Maruarar Sirait yang saat itu menjabat sebagai salah satu petinggi PDI-P juga turut menyuarakan dukungan terhadap kontrak politik tersebut. Ia menyebut bahwa sistem outsourcing selama ini menciptakan rasa tidak aman dan ketidakpastian bagi buruh. Dengan dihapusnya outsourcing, buruh bisa bekerja dengan lebih tenang dan fokus karena mendapat kepastian status kerja.
“Buruh tidak hanya butuh pekerjaan, tapi juga kepastian. Jika outsourcing dihapus, buruh bisa bekerja dengan tenang dan lebih produktif,” ujar Maruarar kala itu.
Menanggapi kekhawatiran bahwa penghapusan outsourcing bisa membuat investor hengkang dari Indonesia, Maruarar menilai bahwa dengan menciptakan iklim usaha yang sehat, pengusaha tetap akan tertarik berinvestasi. Ia percaya bahwa keadilan bagi buruh dan kemajuan ekonomi bisa berjalan beriringan.
Meski telah lewat lebih dari satu dekade sejak kontrak politik tersebut diumumkan, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa praktik outsourcing masih banyak terjadi, bahkan di berbagai sektor yang seharusnya tidak menggunakannya. Banyak aktivis buruh menilai bahwa janji tersebut tak kunjung ditunaikan secara penuh dan hanya menjadi retorika politik belaka.
Kini, dengan Prabowo Subianto kembali terpilih sebagai presiden untuk periode 2024-2029, publik dan terutama kalangan buruh mulai mempertanyakan kembali komitmen yang pernah ia buat bersama Megawati pada 2009. Apakah janji penghapusan outsourcing akan benar-benar direalisasikan kali ini, atau kembali menjadi bagian dari janji politik yang tak pernah sampai?
Pertanyaan tersebut menjadi salah satu catatan penting dalam peringatan Hari Buruh tahun ini. Di tengah harapan buruh untuk mendapatkan perlindungan yang lebih baik dari negara, sejarah kontrak politik tersebut menjadi pengingat bahwa janji politik bukan hanya untuk dikatakan, tapi harus ditepati.