TNI Jaga Kejaksaan: Sinergi Strategis atau Langkah Kontroversial?

Nida Ulfa

Tentara Nasional Indonesia
Tentara Nasional Indonesia

Jakarta, Mei 2025 — Penambahan tugas Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk menjaga seluruh kantor kejaksaan di Indonesia memicu gelombang pro dan kontra di tengah masyarakat. Dalam sebuah telegram Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto yang diterbitkan pada 6 Mei 2025, seluruh satuan TNI diperintahkan untuk mengerahkan personel dan perlengkapan guna mendukung pengamanan kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Indonesia.

Langkah ini menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan, terutama kelompok masyarakat sipil yang mempertanyakan dasar hukum dan urgensi pengerahan prajurit militer ke ranah penegakan hukum.

Dukungan dan Klarifikasi TNI

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung), Harli Siregar, mengonfirmasi bahwa pengamanan oleh TNI merupakan hasil kerja sama resmi antara Kejaksaan dengan TNI. Menurut Harli, kehadiran prajurit TNI dalam lingkungan kejaksaan dimaksudkan sebagai bentuk dukungan terhadap pelaksanaan tugas-tugas kejaksaan, bukan sebagai intervensi terhadap proses hukum.

Senada dengan itu, Mayjen TNI Kristomei Sianturi, Kepala Pusat Penerangan TNI, menjelaskan bahwa kolaborasi ini berlandaskan Nota Kesepahaman Nomor NK/6/IV/2023/TNI yang ditandatangani pada 6 April 2023. Nota tersebut mencakup delapan ruang lingkup kerja sama, termasuk pelatihan, pertukaran informasi, hingga penugasan personel untuk mendukung fungsi kelembagaan masing-masing.

Kristomei menegaskan bahwa pelibatan TNI dilakukan secara profesional, berdasarkan permintaan resmi, dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Ia juga menambahkan bahwa kerja sama ini merupakan wujud sinergisitas antar-lembaga dalam rangka menjaga stabilitas dan keamanan negara.

Baca Juga : Prabowo Hadiri Halal Bihalal Purnawirawan TNI AD

Penolakan dan Kekhawatiran dari Masyarakat Sipil

Meski mendapat dukungan dari institusi terkait, langkah ini justru memicu kekhawatiran serius dari kelompok masyarakat sipil. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan secara tegas menolak pengerahan TNI ke kantor-kantor kejaksaan. Mereka menilai bahwa kebijakan ini melanggar prinsip konstitusional dan hukum nasional, khususnya Undang-Undang TNI, UU Kejaksaan, dan UU Kekuasaan Kehakiman.

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia yang tergabung dalam koalisi tersebut, menyebutkan bahwa tidak ada dasar hukum yang kuat untuk menjadikan nota kesepahaman sebagai landasan pengerahan militer. Ia menyampaikan bahwa TNI seharusnya fokus pada fungsi utama pertahanan, bukan mengintervensi sektor penegakan hukum.

“Pengerahan seperti ini semakin menguatkan adanya intervensi militer di ranah sipil, khususnya di sektor hukum. Ini bisa mengaburkan batas fungsi antara penegakan hukum dan pertahanan,” ujar Usman.

Koalisi juga menilai bahwa pengamanan kantor kejaksaan seharusnya menjadi tanggung jawab satuan pengamanan internal atau institusi penegak hukum sipil lainnya seperti kepolisian, bukan prajurit TNI. Tanpa adanya ancaman nyata yang mendesak, pengerahan militer dinilai tidak proporsional dan berpotensi melemahkan independensi kejaksaan.

Potensi Krisis Ketatanegaraan

Isu ini membuka kembali diskusi lama mengenai posisi militer dalam sistem demokrasi sipil Indonesia. Reformasi sektor keamanan pasca-Orde Baru telah menekankan pentingnya membatasi peran TNI pada urusan pertahanan negara, bukan dalam kehidupan sipil. Dengan masuknya TNI ke ranah kejaksaan, sebagian pihak khawatir akan terjadinya kemunduran terhadap agenda reformasi dan munculnya bayang-bayang dwifungsi militer.

“Ini bukan sekadar soal keamanan fisik institusi, tapi soal prinsip negara hukum yang menjamin pemisahan kekuasaan,” tutur seorang akademisi hukum tata negara yang enggan disebutkan namanya. Ia menambahkan bahwa intervensi militer dalam lembaga hukum akan menciptakan ketidakpastian dalam sistem keadilan dan membuka ruang tekanan terhadap jaksa maupun saksi dalam proses hukum.

Baca Juga : Dididik TNI: “Jalan Baru 39 Anak Nakal Purwakarta”

Mencari Jalan Tengah

Sementara itu, publik menantikan transparansi dari pemerintah dan evaluasi yang objektif terkait implementasi kerja sama TNI-Kejaksaan. Perlu dilakukan kajian hukum mendalam serta uji materi terhadap nota kesepahaman yang dijadikan dasar kerja sama tersebut. Selain itu, DPR RI diharapkan dapat menggelar rapat kerja atau dengar pendapat guna mengawasi dan menilai dampak kebijakan ini terhadap prinsip demokrasi dan supremasi hukum.

Penguatan institusi kejaksaan memang penting dalam menghadapi ancaman-ancaman eksternal seperti intimidasi dari mafia hukum dan premanisme. Namun, solusi tersebut harus dilakukan dengan tetap menjaga batas-batas yang telah diatur dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan.

Penjagaan kantor kejaksaan oleh TNI mungkin dimaksudkan sebagai langkah sinergis antar-lembaga negara. Namun, jika tidak dilandasi oleh kerangka hukum yang kokoh dan transparansi publik, kebijakan ini berisiko menjadi preseden buruk dalam hubungan sipil-militer. Indonesia sebagai negara hukum dituntut untuk menjaga prinsip-prinsip konstitusional, di mana kekuasaan harus dibatasi dan diawasi, agar demokrasi tidak hanya menjadi nama, tapi juga sistem yang nyata.

Jika tujuan utamanya adalah memperkuat penegakan hukum, maka sudah seharusnya pendekatannya dilakukan lewat reformasi institusional yang sipil, bukan militeristik.

Penulis:

Nida Ulfa

Related Post

Tinggalkan komentar