Jakarta — Di balik kemegahan nama besar sebuah perusahaan pertambangan nasional, terkuak kisah kelam tentang praktik korupsi yang terstruktur dan berjalan selama lebih dari satu dekade. Skandal ini menyeret enam mantan petinggi dari Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPP LM), sebuah divisi penting dalam pengelolaan komoditas emas, ke hadapan meja hijau. Mereka kini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya atas dugaan merugikan negara hingga Rp 3,3 triliun.
Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat pada Kamis, 15 Mei 2025, jaksa penuntut umum menuntut masing-masing terdakwa dengan hukuman sembilan tahun penjara serta denda Rp 750 juta. Jika denda tersebut tidak dibayar, maka para terdakwa terancam hukuman tambahan enam bulan kurungan.
Nama-nama yang kini menjadi terdakwa bukanlah orang sembarangan. Mereka adalah tokoh-tokoh penting yang pernah menduduki posisi strategis di UBPP LM: Tutik Kustiningsih (VP 2008–2011), Herman (VP 2011–2013), Dody Martimbang (Senior EVP 2013–2017), Abdul Hadi Aviciena (GM 2017–2019), Muhammad Abi Anwar (GM 2019–2020), dan Iwan Dahlan (GM 2021–2022). Rangkaian jabatan ini menunjukkan betapa sistematis dan berlapisnya praktik yang terjadi di internal perusahaan.
Jaksa menyebutkan bahwa para terdakwa tetap melanjutkan praktik ilegal berupa pengelolaan “emas cucian” dan “lebur cap emas” meski telah ada keputusan resmi dari direksi perusahaan untuk menghentikan kegiatan tersebut sejak 2017. Kegiatan itu diketahui telah berlangsung setidaknya sejak 2010 hingga 2022, melibatkan banyak pihak dan dilakukan dengan motif keuntungan pribadi serta kolusi dengan pihak eksternal.
Dampaknya sangat serius: negara dirugikan hingga Rp 3,3 triliun, sementara kepercayaan publik terhadap merek dan produk emas nasional ikut tergerus. Produk logam mulia, yang selama ini menjadi simbol kemurnian dan integritas, kini tercoreng akibat ulah segelintir orang yang menempatkan kepentingan pribadi di atas integritas institusi.

Tersangka masing masing dituntut 9 tahun penjara
Bahkan lebih dari itu, jaksa mengungkap bahwa praktik korupsi ini tidak dijalankan sendirian. Enam pejabat tersebut diduga bekerja sama dengan tujuh pelanggan utama yang ikut menikmati keuntungan dari kegiatan ilegal ini. Mereka adalah Lindawati Efendi, Suryadi Lukmantara, Suryadi Jonathan, James Tamponawas, Ho Kioen Tjay, Djudju Tanuwidjaja, dan Gluria Asih Rahayu. Beberapa di antara mereka merupakan pelaku usaha, sementara yang lain memiliki hubungan kerja dengan UBPP LM di masa lalu.
Praktik cuci emas atau “emas cucian” sendiri merujuk pada proses peleburan emas yang berasal dari sumber yang tidak jelas asal-usulnya, kemudian dicetak ulang dengan cap resmi perusahaan seolah-olah produk legal. Sementara “lebur cap” mengacu pada peleburan kembali emas dari produk perusahaan untuk kemudian dijual kembali dengan dokumentasi palsu.
Meski para terdakwa belum pernah dijatuhi hukuman sebelumnya, jaksa menilai bahwa tindakan mereka bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi yang digaungkan pemerintah. Tindakan ini juga dianggap mengkhianati kepercayaan publik dan mencoreng reputasi institusi negara di sektor strategis.
Kasus ini kini memasuki babak penting, di mana vonis pengadilan akan menjadi tolok ukur keseriusan aparat penegak hukum dalam menghadapi korupsi kelas kakap. Masyarakat menaruh harapan besar bahwa pengadilan tidak hanya menjatuhkan hukuman setimpal, tetapi juga menjadi pintu masuk untuk membongkar praktik-praktik sejenis di sektor lainnya.
Kini, publik menanti: apakah kasus ini akan menjadi contoh nyata pemberantasan korupsi yang tegas, atau hanya menjadi satu dari sekian banyak skandal yang berakhir tanpa pembenahan sistemik?
Baca Juga : Emas Tembus Rekor, Inflasi Tak Terbendung