Membongkar Fantasi Sedarah: Jerat Gelap di Facebook

Nida Ulfa

Ilustrasi Facebook - Media sosial (Foto: Unsplash.com/Con Karampelas)

Oleh Tim Investigasi, Mei 2025

Jakarta – Ketika dunia maya menjadi ruang terbuka bagi semua, sisi tergelap manusia juga turut merayap masuk. Salah satunya muncul diam-diam melalui sebuah grup Facebook dengan nama mencengangkan: Fantasi Sedarah. Di balik tampilan biasa dan sistem keanggotaan tertutup, grup ini menyimpan konten menyimpang yang mengusik nurani—fantasi seksual bertema inses, sebagian besar mengarah pada anak di bawah umur.

Laporan awal masuk ke sistem pengaduan publik aduankonten.id akhir April lalu. Seorang warga yang tidak disebutkan identitasnya mengaku secara tidak sengaja menemukan tautan ke grup tersebut di sebuah forum obskur. Dari sinilah penyelidikan dimulai.

Menelusuri Dunia Rahasia

Dengan menggunakan identitas samaran, tim investigasi kami berhasil menyusup ke dalam grup selama beberapa hari sebelum akhirnya ditutup. Grup tersebut terdiri dari lebih dari 1.300 anggota aktif. Dalam unggahan mereka, para anggota membagikan teks, ilustrasi digital, hingga fanfiction bertema hubungan sedarah, beberapa secara eksplisit mengandung narasi pelecehan terhadap anak.

Yang lebih mencengangkan, tak sedikit dari mereka yang menyamarkan narasi tersebut sebagai “karya sastra” atau “fantasi pribadi”, bersembunyi di balik kebebasan berekspresi. Namun, semua itu tak dapat menyamarkan aroma kekerasan seksual dan ketidaksenonohan terhadap anak yang pekat di dalamnya.

“Ini bukan sekadar grup iseng. Ini adalah komunitas yang menormalisasi kejahatan,” kata psikolog forensik dr. Intan Rahmadani, yang kami wawancarai terkait temuan tersebut. “Dan bahayanya, algoritma platform bisa dengan mudah menyebarkan ini ke lebih banyak orang.”

Reaksi Pemerintah dan Meta

Setelah laporan disampaikan ke Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), pihak kementerian langsung bergerak cepat. Dalam kurun waktu 48 jam, Komdigi berkoordinasi dengan Meta, induk perusahaan Facebook, untuk melakukan penutupan.

“Grup ini telah melanggar semua batas,” ujar Dirjen Aplikasi Informatika Komdigi, Rina Wijayanti, kepada media. “Kami mendesak Meta untuk tidak hanya menutup grup, tetapi juga menyerahkan data pengelola dan pemrakarsa grup kepada aparat penegak hukum.”

Meta, yang selama ini kerap dituding lamban menangani konten menyimpang, kali ini merespons cepat. Grup langsung diturunkan, dan akun-akun terkait diberi sanksi.

Namun, apakah cukup?

Siasat Mereka: Satu Hilang, Sepuluh Tumbuh

Sumber kami di Direktorat Siber Polda Metro Jaya membenarkan bahwa grup ini bukan satu-satunya. “Kami menemukan setidaknya enam grup lain dengan pola serupa, tersebar di berbagai platform—tidak hanya Facebook,” ungkap salah satu penyidik, yang tak ingin disebutkan namanya.

Modus mereka nyaris identik: grup tertutup, verifikasi via DM, dan pemakaian kode-kode khusus seperti “#fanindo” atau “#keluarga_fiksi”. Semua itu dirancang untuk menghindari moderasi sistem otomatis dan mengelabui pengawasan publik.

Lebih dari itu, banyak dari pelaku yang memanfaatkan akun palsu, VPN, dan jejak digital yang dikaburkan—membuat pelacakan menjadi pekerjaan yang rumit.

Lemahnya Perlindungan Anak di Dunia Digital

Fakta menyedihkan lainnya: tidak ada sistem yang sepenuhnya melindungi anak dari paparan konten menyimpang di internet. Platform raksasa seperti Facebook memiliki kebijakan komunitas, tetapi tidak selalu mampu memproses jutaan laporan setiap hari secara efektif.

Kehadiran PP Nomor 17 Tahun 2025 (PP Tunas) yang baru disahkan, menjadi harapan baru. Namun, implementasinya belum merata.

“Regulasinya sudah bagus. Tapi tanpa pengawasan dan partisipasi masyarakat, kita hanya menunggu bom waktu,” ujar Budi Ardiansyah, aktivis perlindungan anak dari LSM Digital Aman.

Akhir dari Fantasi, Awal dari Penindakan

Saat ini, aparat tengah memburu pelaku utama yang diduga merupakan administrator dari grup Fantasi Sedarah. Dari hasil pelacakan awal, ia menggunakan identitas palsu dan memanfaatkan sistem monetisasi konten ilegal untuk mendapat keuntungan dari “donatur” melalui platform pembayaran anonim.

Komdigi menyatakan akan menindak siapa pun yang terlibat, termasuk mereka yang hanya “menyukai” atau membagikan konten berbau eksploitasi anak.


Investigasi ini menjadi peringatan: dunia digital menyimpan wajah gelap yang tak kasat mata.

Dan di tengah semua itu, anak-anak adalah yang paling rentan.

Baca Juga : Bapak-Anak Preman Pasar RaupKeuntungan 22 Juta dari Pungli

Penulis:

Nida Ulfa

Related Post

Tinggalkan komentar