Kisah Lengkap Kejatuhan Sritex Akibat Ekspansi Agresif, Pandemi, dan Kredit Bermasalah
PT Sri Rejeki Isman Tbk atau lebih dikenal dengan Sritex, dulunya dianggap sebagai lambang kejayaan industri tekstil nasional. Sebagai produsen tekstil terbesar di Asia Tenggara, Sritex dikenal luas di pasar global dengan lini produk seragam militer, pakaian jadi, hingga bahan tekstil berkualitas tinggi. Namun kini, perusahaan ini tengah terperosok dalam jurang kebangkrutan dan jerat hukum akibat dugaan praktik korupsi dan pengelolaan keuangan yang buruk.
Babak Baru: Korupsi di Balik Krisis
Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengungkapkan bahwa kasus Sritex tidak lagi semata soal ketidakseimbangan neraca keuangan atau dampak pandemi. Kini, kasus ini berkembang menjadi dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas kredit oleh sejumlah bank daerah. Dalam penyelidikan tersebut, Kejagung menetapkan tiga tersangka, termasuk mantan Direktur Utama Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, yang menjabat dari 2005 hingga 2022.
Dua nama lain yang turut terseret adalah pejabat tinggi dari perbankan daerah, yakni Dicky Syahbandinata dari Bank BJB dan Zainuddin Mapa dari Bank DKI. Keduanya diduga terlibat dalam penyalahgunaan wewenang saat memproses pemberian kredit ke Sritex.
Dari Puncak Keemasan Menuju Jurang Kehancuran
Pada tahun 2020, Sritex masih menikmati puncak kinerjanya. Laba bersih mencapai US$85,32 juta (sekitar Rp1,24 triliun), menandai perusahaan sebagai salah satu pemain industri paling solid di tengah ketidakpastian global. Namun, kondisi ini berubah total hanya dalam setahun.
Tahun 2021 menjadi titik balik yang suram. Sritex mencatat kerugian sebesar US$1,08 miliar atau Rp15,66 triliun. Ini merupakan kerugian terbesar yang pernah dialami perusahaan sejak go public di Bursa Efek Indonesia. Runtuhnya pendapatan hingga 35% dibandingkan tahun sebelumnya menjadi pemicu utama, diperparah oleh ekspansi perusahaan yang tak terkendali dan beban utang yang terus membengkak.
Pandemi sebagai Pemantik, Bukan Satu-satunya Penyebab
Meski pandemi COVID-19 memukul banyak sektor, krisis Sritex tidak sepenuhnya bisa disalahkan pada kondisi eksternal. Sritex sebelumnya telah melakukan ekspansi besar-besaran dengan membangun pabrik baru dan membeli mesin-mesin modern. Sayangnya, ekspansi ini dibiayai dari utang berbunga tinggi yang kelak menjadi beban berat saat permintaan menurun drastis.
Ketika pasar global kolaps akibat pandemi, arus kas perusahaan tercekik. Sritex akhirnya mengajukan restrukturisasi utang melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pada Mei 2021. Total utang yang diajukan untuk direstrukturisasi mencapai Rp12,9 triliun. Namun, hal itu tidak cukup untuk menyelamatkan kondisi finansial perusahaan.
Baca Juga : Kejagung Tangkap Dirut Sritex, Diduga Korupsi Kredit
Kredit Bermasalah: Benang Kusut yang Terurai
Hingga Oktober 2024, total tagihan Sritex yang belum dilunasi dari sejumlah bank pemerintah daerah mencapai Rp3,58 triliun. Rinciannya termasuk Bank Jateng (Rp395 miliar), Bank BJB (Rp543 miliar), Bank DKI (Rp149 miliar), serta sindikasi dari Bank BNI, BRI, dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) sebesar Rp2,5 triliun.
Tak hanya itu, Sritex juga diketahui memiliki kredit dari 20 bank swasta lainnya. Pemberian kredit dalam jumlah besar ini diduga tidak melalui proses analisis risiko yang memadai, membuka ruang penyalahgunaan dan memperbesar potensi kerugian negara.
Utang Membengkak, Laba Tergerus
Data menunjukkan bahwa pada September 2024, liabilitas Sritex tercatat mencapai Rp24,5 triliun. Ini mencerminkan peningkatan sekitar 40% dari posisi utang di tahun 2020. Beban bunga dan cicilan utang yang terus bertambah membebani arus kas perusahaan, sementara pendapatan dari sisi operasional tidak mampu menutupi biaya tersebut.
Walaupun kerugian mulai mengecil menjadi Rp637 miliar per September 2024, kondisi keuangan Sritex tetap jauh dari pulih. Kepercayaan pasar sudah terlanjur runtuh, dan investigasi hukum memperburuk citra perusahaan.
Pelajaran Berharga bagi Dunia Bisnis
Kasus Sritex memberi pelajaran penting bagi dunia usaha di Indonesia. Kejatuhan sebuah perusahaan raksasa tidak terjadi dalam semalam. Ini adalah hasil dari kombinasi berbagai faktor—ekspansi agresif tanpa pertimbangan matang, buruknya manajemen utang, lemahnya pengawasan internal, serta kegagalan merespons krisis dengan adaptif.
Lebih dari itu, kasus ini menyoroti pentingnya tata kelola perusahaan yang transparan dan akuntabel. Pemberian kredit besar oleh institusi perbankan seharusnya melalui kajian risiko yang ketat, bukan karena relasi atau kepentingan sesaat. Ketika prinsip kehati-hatian diabaikan, bukan hanya perusahaan yang jatuh, tapi juga kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan.
Kisah Sritex bukan hanya tentang bangkrutnya sebuah perusahaan, melainkan cermin rapuhnya sistem manajemen, pengawasan, dan tata kelola di sektor industri strategis. Sritex yang dulu dibanggakan kini menjadi simbol kegagalan kolektif—antara ambisi yang terlalu besar dan kontrol yang terlalu lemah. Kini, pelajaran dari tragedi ini menjadi momentum penting untuk memperbaiki tata kelola perusahaan dan sistem keuangan nasional secara menyeluruh.
Baca Juga : Dari Untung ke Rugi, Sritex Tersandung Skandal Kredit