Harga minyak dunia kembali mencatatkan kenaikan signifikan dalam beberapa hari terakhir. Penyebab utamanya adalah penurunan drastis stok minyak mentah di Amerika Serikat, salah satu konsumen sekaligus produsen minyak terbesar di dunia. Fenomena ini memicu kekhawatiran pasar terhadap pasokan energi global yang semakin ketat, dan pada akhirnya mendorong harga minyak mentah ke level tertingginya dalam beberapa bulan terakhir.
Berdasarkan data terbaru dari Energy Information Administration (EIA), persediaan minyak mentah di AS mengalami penurunan sebesar lebih dari 9 juta barel dalam satu minggu terakhir. Angka ini jauh melebihi ekspektasi para analis yang sebelumnya memperkirakan penurunan hanya sekitar 2 juta barel. Penurunan stok ini terjadi di tengah tingginya permintaan domestik akibat musim panas, di mana konsumsi bahan bakar biasanya meningkat untuk kebutuhan perjalanan dan transportasi.
Tak hanya itu, aktivitas kilang di AS juga melonjak seiring meningkatnya permintaan bahan bakar. Hal ini menyebabkan pasokan minyak mentah di terminal-terminal penyimpanan utama, termasuk di Cushing, Oklahoma, menyusut cukup drastis. Dengan berkurangnya cadangan, pasar pun bereaksi dengan cepat. Harga minyak mentah jenis Brent naik menjadi lebih dari USD 86 per barel, sementara minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) naik ke atas USD 82 per barel.
Kenaikan harga ini juga diperkuat oleh sentimen geopolitik yang belum mereda. Ketegangan yang terus berlanjut di Timur Tengah, khususnya di wilayah Laut Merah dan sekitarnya, ikut memicu kekhawatiran pasar terhadap kelancaran distribusi energi global. Serangan terhadap kapal tanker serta blokade di jalur perdagangan penting membuat para pelaku pasar berspekulasi bahwa rantai pasokan energi bisa terganggu sewaktu-waktu.
Baca Juga : Minyak Runtuh ke Level Terendah, Dunia Siaga Resesi!
Sementara itu, keputusan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, atau yang dikenal sebagai OPEC+, untuk tetap menahan tingkat produksinya juga menjadi faktor pendorong naiknya harga. OPEC+ tetap pada kebijakan pemotongan produksi sebesar lebih dari 2 juta barel per hari yang berlaku sejak tahun lalu, dan belum menunjukkan tanda-tanda akan melonggarkan kebijakan tersebut dalam waktu dekat.
Bagi negara-negara pengimpor minyak seperti Indonesia, lonjakan harga ini bisa menjadi pukulan berat. Selain akan mempengaruhi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri, naiknya harga minyak mentah juga bisa menekan anggaran subsidi energi pemerintah. Jika harga minyak bertahan tinggi dalam jangka panjang, maka inflasi juga bisa terdorong naik karena harga barang dan jasa ikut menyesuaikan.
Di sisi lain, bagi negara produsen dan eksportir minyak, situasi ini bisa menjadi keuntungan. Negara-negara seperti Arab Saudi, Rusia, dan bahkan Amerika Serikat sendiri (yang juga merupakan produsen besar melalui ladang-ladang shale oil) bisa meraup pendapatan lebih besar dari ekspor minyak mentah mereka.
Namun, ketergantungan pasar terhadap cadangan minyak di AS juga menunjukkan betapa rapuhnya sistem pasokan energi global saat ini. Meski teknologi dan diversifikasi energi terus berkembang, dunia masih sangat bergantung pada minyak bumi sebagai sumber utama energi. Ketika terjadi gangguan, baik dari sisi pasokan maupun permintaan, dampaknya bisa langsung terasa di pasar global.
Para analis memperkirakan harga minyak bisa terus naik jika stok di AS terus menyusut dan permintaan global tetap tinggi. Namun mereka juga mengingatkan bahwa volatilitas tetap tinggi, terutama jika ada perubahan kebijakan dari bank sentral AS terkait suku bunga, atau jika terjadi perlambatan ekonomi global.
Saat ini, pasar tengah mencermati langkah-langkah lanjutan dari pemerintah AS, termasuk kemungkinan mereka merilis cadangan minyak strategis (Strategic Petroleum Reserve) untuk menstabilkan pasar. Namun mengingat cadangan tersebut juga telah digunakan dalam beberapa tahun terakhir, kapasitasnya kini juga terbatas.
Kenaikan harga minyak dunia ini kembali mengingatkan bahwa isu energi adalah salah satu pilar utama dalam ekonomi global. Ke depan, tantangan utama bukan hanya soal menjaga pasokan tetap stabil, tetapi juga mendorong transisi energi ke arah yang lebih berkelanjutan, agar kejutan seperti ini tidak terus terjadi dan mengganggu stabilitas ekonomi dunia.
Baca Juga : Selat Hormuz: Jalur Minyak Dunia yang Jadi Rebutan Strategis