AS Diprediksi Masuk Resesi, CEO BlackRock dan JPMorgan Soroti Dampak Tarif Trump

Faqih Ahmd

Foto: AP/Andres Kudacki

Amerika Serikat diduga telah masuk dalam masa resesi. Pandangan ini disampaikan oleh Larry Fink, CEO perusahaan investasi global BlackRock yang mengelola aset sebesar US$11 triliun pada akhir 2024. Ia menyebut bahwa banyak pelaku bisnis terkemuka menyampaikan kekhawatiran serupa mengenai perlambatan ekonomi Negeri Paman Sam.

“Sebagian besar CEO yang saya temui menyatakan bahwa kita kemungkinan besar sudah berada dalam masa resesi,” ujar Fink dalam sebuah diskusi di Economic Club of New York, dikutip dari CNBC International, Selasa (8/5/2025). Ia menambahkan, seorang eksekutif industri penerbangan bahkan menyebut sektor mereka sebagai “burung kenari di tambang batu bara” yang sudah menunjukkan tanda-tanda sakit, sebagai peringatan awal akan kondisi ekonomi yang memburuk.

Fink juga menyoroti bahwa kebijakan tarif Presiden Donald Trump berpotensi mendorong inflasi, yang justru bisa menyulitkan Federal Reserve (The Fed) untuk menurunkan suku bunga seperti yang biasanya dilakukan dalam situasi resesi.

“Saya pribadi tidak melihat peluang besar bagi The Fed untuk memangkas suku bunga sebanyak empat kali tahun ini,” ucapnya. “Saya justru khawatir inflasi yang meningkat bisa membuat suku bunga tetap tinggi bahkan lebih tinggi dari level saat ini.”

Meski begitu, alat prediksi pasar CME FedWatch menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku pasar masih berharap suku bunga bisa turun hingga 1 persen sepanjang tahun ini, yang setara dengan empat kali pemangkasan masing-masing 0,25 persen.

Pertumbuhan Ekonomi Dipastikan Melambat

Senada dengan Fink, CEO JPMorgan Jamie Dimon juga mengungkapkan kekhawatiran atas dampak negatif dari tarif baru yang diumumkan oleh Trump. Dalam surat tahunannya kepada para pemegang saham yang dirilis pada 2 April 2025, Dimon menyebut bahwa kebijakan ini akan semakin memperberat kondisi ekonomi AS yang memang sudah melambat.

“Mau bagaimanapun juga, tarif-tarif ini kemungkinan besar akan menimbulkan dampak negatif jangka pendek yang signifikan,” jelas Dimon. Ia memperkirakan tarif tersebut tidak hanya akan menaikkan harga barang impor, tetapi juga meningkatkan harga produk dalam negeri karena meningkatnya biaya produksi dan permintaan terhadap barang lokal.

Dimon menambahkan bahwa efek dari kebijakan ini bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi, meskipun belum bisa dipastikan apakah akan memicu resesi. Pernyataannya kali ini berkontras dengan sikapnya pada Januari lalu, ketika ia sempat mengatakan bahwa tarif dapat membantu menjaga keamanan nasional.

Kini, dengan tingkat tarif yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya, ia melihat dampak yang lebih luas, termasuk terganggunya arus modal internasional, tekanan terhadap nilai tukar dolar, dan ketidakpastian terhadap keuntungan perusahaan.

“Semakin lama ketidakpastian ini dibiarkan, dampaknya akan semakin berat dan bisa bersifat permanen,” tegas Dimon. “Dalam jangka pendek, ini seperti jerami terakhir yang membebani punggung unta.”

Meski ekonomi AS menunjukkan performa cukup baik dalam beberapa tahun terakhir berkat stimulus hampir US$11 triliun dari pemerintah, Dimon menilai bahwa ekonomi sudah mulai melemah sejak beberapa pekan terakhir, bahkan sebelum kebijakan tarif diberlakukan.

Ia menegaskan bahwa inflasi bisa lebih tinggi dari perkiraan banyak pihak, sehingga suku bunga kemungkinan akan tetap tinggi meski laju ekonomi melambat.

“Kita tengah menghadapi banyak tekanan, mulai dari geopolitik hingga kebijakan dalam negeri,” pungkas Dimon. Ia juga menyinggung potensi manfaat dari reformasi pajak dan deregulasi, namun mengingatkan adanya risiko besar dari perang dagang dan defisit fiskal yang tinggi.

Sebagai informasi, Presiden Trump sebelumnya mengumumkan tarif balasan terhadap lebih dari 160 negara dan wilayah, termasuk Indonesia, yang dinilai memiliki neraca perdagangan tidak seimbang dengan AS. Tarif ini berkisar antara 10% hingga 50%.

Penulis:

Faqih Ahmd

Related Post

Tinggalkan komentar