Brunei Darussalam selama ini dikenal sebagai negara yang tenang di kawasan Asia Tenggara. Namun, dalam laporan tahunan yang dirilis Departemen Luar Negeri AS pada Juni 2024, Brunei masuk dalam daftar hitam negara yang dianggap gagal menangani isu perdagangan manusia.
Brunei dikategorikan sebagai “tingkat 3,” level terendah dalam laporan tersebut, yang berarti negara ini berisiko terkena sanksi dari AS, termasuk pemotongan bantuan ekonomi. Menurut laporan yang dikutip dari AFP, alasan Brunei masuk daftar ini adalah karena minimnya upaya dalam memberantas perdagangan manusia.
Bahkan, disebutkan bahwa Brunei tidak menghukum pelaku perdagangan manusia selama tujuh tahun berturut-turut. Sebaliknya, pemerintah justru menangkap pekerja yang melarikan diri dan memberikan hukuman cambuk kepada beberapa di antaranya.
Meski secara umum hubungan Brunei dengan AS cukup baik, negara tersebut kerap dikritik karena tetap menerapkan hukuman mati, termasuk bagi kelompok LGBTQ+.
Negara Lain dalam Daftar Hitam
Brunei bukan satu-satunya negara yang masuk kategori “tingkat 3.” Sudan juga masuk daftar karena dinilai gagal mencegah perekrutan tentara anak-anak.
Laporan tersebut juga menyoroti bagaimana teknologi semakin memudahkan pelaku perdagangan manusia melintasi perbatasan. Mantan Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, menyebut teknologi sebenarnya bisa digunakan untuk membongkar jaringan perdagangan manusia dan menindak para pelaku.
Di sisi lain, Vietnam berhasil keluar dari daftar “tingkat 3” setelah menunjukkan kemajuan dalam penyelidikan, penuntutan, dan pemberian bantuan kepada korban. Hal serupa juga terjadi pada Afrika Selatan dan Mesir, sementara Aljazair resmi dihapus dari daftar.
China, Rusia, dan Venezuela tetap berada dalam daftar hitam. China dan AS terus berseteru dalam perang dagang, sementara Rusia dianggap musuh besar AS, terutama sejak konflik dengan Ukraina yang terus berlanjut.