Pada awal 2023, Adi (nama samaran) meninggalkan kampung halamannya di Jawa Tengah menuju Kamboja. Ia tertarik oleh tawaran pekerjaan yang menjanjikan gaji Rp12-13 juta per bulan—angka yang jauh melampaui pendapatannya di Indonesia. Sebagai tulang punggung keluarga, pilihan itu tampak masuk akal. Kota tempat ia tinggal bahkan memiliki komunitas WNI dan restoran Indonesia yang membuatnya merasa betah.
Namun, kenyamanan itu datang dengan harga mahal. Adi bekerja di industri judi online, sektor yang dilegalkan di Kamboja tapi tetap kontroversial. Ia mengaku tidak pernah disekap atau disiksa seperti beberapa WNI lainnya, namun rasa bersalah tetap menghantuinya, apalagi karena sebagian besar konsumennya adalah sesama orang Indonesia yang terjerat utang.
Cerita Adi bukanlah satu-satunya. Sejak pandemi, jumlah WNI di Kamboja melonjak drastis—dari 2.330 orang pada 2020 menjadi lebih dari 19.000 pada 2024. Data KBRI Phnom Penh menunjukkan bahwa pada 2025, rata-rata 20-25 kasus baru WNI bermasalah muncul setiap hari kerja. Mayoritas dari mereka terlibat dalam skema penipuan online.
Tak semua WNI seberuntung Adi. Di Jawa Barat, Lisa (nama samaran) harus merelakan putranya, Dody, dimakamkan di Kamboja setelah meninggal akibat penyakit saat hendak dipulangkan. Dody awalnya tergiur oleh tawaran pekerjaan dengan gaji tinggi di luar negeri, namun malah menjadi korban perdagangan orang dan dipaksa menjadi scammer. Keluarganya bahkan harus menjual harta untuk menebus kepulangannya yang akhirnya tak pernah terjadi.
Kasus seperti ini terus meningkat. Dalam tiga bulan pertama 2025 saja, tercatat 1.301 kasus WNI bermasalah, 85% di antaranya terkait penipuan daring. Pemerintah Kamboja sendiri telah membentuk Komisi Pemberantasan Scam Online dan melakukan penertiban besar-besaran.
Direktur Perlindungan WNI, Judha Nugraha, mencatat bahwa dari 7.027 kasus penipuan daring sejak 2021, lebih dari 4.000 terjadi di Kamboja. Meski begitu, hanya sebagian yang dikategorikan sebagai tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Banyak di antara mereka adalah generasi muda, digital-savvy, dan berasal dari kelas menengah—sebuah ironi karena mereka justru menjadi sasaran empuk modus rekrutmen online yang kian canggih.
Fenomena ini disebut oleh Migrant Care sebagai “lapar kerja”—dorongan kuat untuk mendapatkan penghasilan meski harus mengambil risiko besar. Undang-undang yang ada pun dinilai belum cukup kuat untuk mencegah eksploitasi berbasis teknologi.
Lebih menyedihkan lagi, menurut Dinna Prapto Raharja dari Synergy Policies, banyak perekrut adalah WNI sendiri. “Orang Indonesia makan orang Indonesia,” katanya. Penipuan ini semakin kompleks dan meyakinkan, menyasar kaum muda yang terbiasa dengan teknologi namun kurang literasi migrasi aman.
Vrameswari Omega Wati, pengamat isu transnasional, menyebut bahwa solusi utama adalah edukasi masif di daerah-daerah asal korban. Literasi tentang migrasi aman harus ditingkatkan sebelum lebih banyak anak muda tergoda iming-iming gaji besar dan mimpi bekerja di luar negeri.
Baca Juga : “Fakta dan Mitos Seputar Kesehatan Ginjal”