Diduga Aparat Berpakaian Sipil Pukuli Mahasiswa Saat Aksi Buruh di Semarang

Khafiza Yuliana

Suasana tidak kondusif terjadi saat berlangsungnya aksi massa May Day di Semarang, Kamis (1/5/2024). (Sumber: KOMPAS.COM/Titis Anis Fauziyah)

Seorang mahasiswa yang meliput demo buruh di Semarang menjadi korban kekerasan oleh aparat yang diduga berpakaian sipil, memicu kecaman dari berbagai kalangan.

Pada Kamis, 1 Mei 2025, dalam rangka peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day, aksi unjuk rasa yang diikuti ribuan buruh di Semarang diwarnai oleh sebuah insiden kekerasan yang melibatkan seorang mahasiswa. Mahasiswa tersebut, yang diketahui berinisial DS dan merupakan pimpinan redaksi dari pers mahasiswa di salah satu perguruan tinggi Semarang, menjadi korban kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat yang tidak mengenakan seragam resmi.

Aksi buruh yang awalnya berjalan damai dengan tuntutan memperbaiki kondisi kesejahteraan pekerja, segera berubah tegang ketika seorang mahasiswa yang tengah melakukan tugas peliputan terkait demo tersebut diserang secara tiba-tiba. Menurut keterangan saksi yang berada di lokasi kejadian, aparat yang diduga berasal dari kepolisian tersebut tidak tampak mengenakan seragam resmi dan justru mengenakan pakaian sipil. Tanpa memberikan peringatan atau alasan yang jelas, aparat tersebut mendekati DS yang sedang mengabadikan momen tersebut dengan kamera ponselnya, kemudian memukulnya secara tiba-tiba di bagian wajah.

Seorang jurnalis mahasiswa menjadi korban kekerasan aparat saat meliput aksi unjuk rasa pada peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) di Kota Semarang, Jawa Tengah, pada Kamis (1/5/2025). (Sumber: KOMPAS.COM/Muchamad Dafi Yusuf)

Kekerasan ini tak hanya terbatas pada pemukulan fisik, tetapi juga melibatkan perampasan perangkat ponsel milik DS yang sedang digunakan untuk merekam kejadian tersebut. Para saksi mengungkapkan bahwa aparat itu langsung merampas ponsel DS dan memaksanya untuk menghapus rekaman yang sudah terlanjur diambil. Hal ini menjadi sorotan, mengingat tindakan tersebut dianggap melanggar hak kebebasan berekspresi, terutama bagi jurnalis atau mahasiswa yang memiliki hak untuk meliput peristiwa yang tengah berlangsung.

Usai kejadian itu, DS yang mengalami luka cukup serius di wajahnya langsung dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan medis. Kondisi DS dilaporkan stabil meskipun mengalami memar dan bengkak pada bagian wajah akibat pukulan yang diterimanya. Dalam pernyataan yang disampaikan melalui rekan-rekannya, DS mengungkapkan rasa kekecewaannya terhadap tindakan kekerasan yang diterimanya. “Saya tidak tahu apa yang salah dengan meliput aksi ini. Saya hanya menjalankan tugas saya sebagai jurnalis mahasiswa yang ingin mengabadikan momen ini,” ujar DS dengan suara yang masih terdengar lemah akibat rasa sakit.

Insiden ini kemudian memicu kemarahan di kalangan mahasiswa dan aktivis, yang mengecam keras tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat terhadap seorang mahasiswa yang sedang melakukan peliputan. Mereka menilai bahwa tindakan tersebut mencoreng prinsip kebebasan pers dan hak asasi manusia yang seharusnya dijunjung tinggi, khususnya dalam ruang demokrasi dan kebebasan berpendapat seperti yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Rekan-rekan DS dan keluarga korban juga tidak tinggal diam, mereka mendesak agar aparat penegak hukum segera menindaklanjuti kejadian ini dengan proses hukum yang jelas. Mereka meminta agar aparat yang terlibat dalam kekerasan tersebut diberikan sanksi yang tegas, dan meminta agar pihak kepolisian melakukan evaluasi terhadap prosedur dan pelatihan aparat dalam menangani aksi demonstrasi di masa depan.

Menanggapi laporan ini, Kapolrestabes Semarang, Kombes Pol. Agus Subroto, menyatakan bahwa pihaknya sangat prihatin dengan kejadian tersebut dan berjanji untuk segera menindaklanjuti laporan yang masuk. Dalam konferensi pers yang digelar sehari setelah kejadian, Kombes Pol. Agus Subroto menegaskan bahwa pihak kepolisian tidak akan mentolerir tindakan kekerasan oleh aparat, terlebih lagi terhadap masyarakat yang sedang menyuarakan pendapat mereka dalam bentuk demonstrasi. “Kami akan melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap anggota yang diduga terlibat dalam insiden ini. Tindakan kekerasan tidak akan dibiarkan, dan kami berkomitmen untuk memastikan proses hukum berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” ujar Agus Subroto.

Sementara itu, beberapa organisasi mahasiswa dan aktivis hak asasi manusia menyatakan bahwa insiden ini menambah daftar panjang kasus kekerasan yang terjadi selama aksi demonstrasi di Indonesia. Mereka menilai bahwa meskipun kebebasan berekspresi dilindungi oleh hukum, dalam praktiknya banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh aparat dalam menghadapi aksi demonstrasi. Aksi represif seperti ini, menurut mereka, justru mencederai esensi dari demokrasi yang seharusnya menjamin kebebasan bagi setiap warga negara untuk menyuarakan pendapat mereka.

Salah satu pernyataan yang datang dari Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Universitas Semarang, yang turut mengecam keras tindakan kekerasan tersebut. Mereka menyerukan kepada pemerintah agar segera melakukan evaluasi terhadap sikap aparat dalam menghadapi unjuk rasa, dan meminta agar kebijakan yang melibatkan penggunaan kekuatan oleh aparat lebih transparan dan lebih mengedepankan pendekatan yang humanis.

Insiden kekerasan yang menimpa DS ini juga menjadi peringatan bagi para jurnalis mahasiswa dan masyarakat umum agar lebih berhati-hati dalam menjalankan hak mereka untuk meliput dan menyuarakan pendapat. Dalam konteks ini, penting bagi semua pihak, baik aparat keamanan maupun masyarakat, untuk menjaga kedamaian dan menghormati hak-hak dasar yang dijamin oleh konstitusi.

Dengan berkembangnya isu ini, seluruh pihak berharap agar kejadian serupa tidak terulang kembali di masa depan. Langkah-langkah yang lebih tegas dari aparat untuk menghentikan kekerasan terhadap demonstran atau jurnalis sangat dibutuhkan agar kebebasan berpendapat tetap terlindungi di Indonesia.

Penulis:

Khafiza Yuliana

Related Post

Tinggalkan komentar