Hanya Terima Rp 1.000, Buruh Ditinggal Tanpa PHK

Nida Ulfa

Sejumlah buruh di salah satu pabrik tekstil di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah mengalami nasib tragis karena hanya digaji Rp 1.000 setiap bulan sejak awal 2024.
Sejumlah buruh di salah satu pabrik tekstil di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah mengalami nasib tragis karena hanya digaji Rp 1.000 setiap bulan sejak awal 2024.

Karanganyar, Jawa Tengah — Di balik gemerlap industri tekstil yang menjadi tulang punggung ekspor nasional, terdapat kisah pilu para buruh yang digantung nasibnya tanpa kepastian. Sejumlah buruh di salah satu pabrik tekstil di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, mengaku hanya menerima gaji Rp 1.000 per bulan sejak mereka dirumahkan awal 2024.

Salah satu dari mereka, Supartini, bercerita bagaimana dirinya tidak menyangka bakal menghadapi kenyataan pahit ini. Ia mengaku telah dirumahkan perusahaan tempatnya bekerja sejak Februari 2024 tanpa kejelasan kapan akan kembali dipekerjakan. Lebih menyakitkan lagi, ketika ia memeriksa rekening banknya, hanya ada transfer senilai Rp 1.000 per bulan dari pihak perusahaan.

“Enggak. Sama sekali tidak (dapat gaji). Tapi pas saya cek rekening koran, ada uang masuk Rp 1.000,” ujar Supartini kepada CNNIndonesia.com pada Senin (5/5).

Cerita Supartini bukan satu-satunya. Nasib serupa juga dialami Sumarno, seorang buruh yang telah bekerja bertahun-tahun di perusahaan yang sama. Ia mengungkapkan bahwa sejak 2023, perusahaan telah mulai melakukan efisiensi tenaga kerja dengan mengurangi jam kerja dan merumahkan sejumlah karyawan. Akibatnya, Sumarno pun sempat hanya menerima setengah gaji. Namun sejak Februari 2024, ia resmi dirumahkan tanpa kepastian.

“Selama dirumahkan ya itu, cuma dapat Rp 1.000 per bulan,” katanya dengan nada getir.

Buruh Dirumahkan Tanpa Kejelasan

Ketua Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan (FSP KEP) Karanganyar, Danang Sugiyatno, menjelaskan bahwa jumlah buruh yang dirumahkan oleh perusahaan tersebut mencapai ratusan orang. Namun, yang melapor secara resmi ke serikat buruh hanya sekitar 26 hingga 30 orang.

Menurut Danang, pemberian gaji Rp 1.000 ini sengaja dilakukan perusahaan agar tidak dianggap melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pasalnya, jika buruh mengundurkan diri secara sukarela, mereka tidak berhak mendapatkan pesangon.

“Jadi teman-teman buruh ini digantung tanpa cantolan, dipegat tanpa layang,” sindir Danang, menggunakan peribahasa Jawa yang berarti “dicerai tanpa surat resmi”.

Danang menyebut perusahaan berdalih menggunakan Pasal 93 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyebutkan bahwa upah tidak dibayar apabila pekerja tidak melakukan pekerjaan. Namun perusahaan dianggap tidak membaca keseluruhan pasal tersebut.

“Padahal ayat keduanya menjelaskan bahwa jika pekerja bersedia bekerja tetapi tidak diberi pekerjaan oleh perusahaan, maka upah tetap wajib dibayarkan,” jelasnya.

Gugatan ke Pengadilan dan Putusan PHI

Karena tak kunjung mendapat kejelasan dan keadilan dari perusahaan, FSP KEP Karanganyar melaporkan kasus ini ke Dinas Perdagangan, Perindustrian dan Ketenagakerjaan (Disdagperinaker) Kabupaten Karanganyar. Namun, mediasi yang dilakukan tidak menghasilkan kesepakatan.

Akhirnya, para buruh memutuskan untuk menggugat perusahaan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) di Pengadilan Negeri Semarang, Jawa Tengah. Hasilnya, beberapa putusan telah keluar dan menyatakan bahwa perusahaan terbukti melanggar hukum ketenagakerjaan.

Pengadilan menyatakan bahwa perusahaan melanggar Pasal 93 ayat 1 UU Nomor 13 Tahun 2003 serta Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja RI Nomor SE-05/M/BW/1998 tentang Upah Pekerja Dirumahkan. Majelis hakim juga memutuskan bahwa hubungan kerja antara perusahaan dan para buruh gugur karena perusahaan tidak membayar upah selama lebih dari tiga bulan berturut-turut.

Sebagai konsekuensinya, perusahaan dihukum untuk membayar seluruh upah yang tertunggak dan memberikan pesangon sebesar 19 kali upah bulanan.

Perjuangan Masih Berlanjut

Sayangnya, meskipun sudah ada putusan hukum yang berkekuatan tetap, hingga kini perusahaan belum menjalankan amar putusan tersebut. Menurut Danang, perusahaan memiliki opsi untuk mengajukan kasasi, namun hingga saat ini belum ada kepastian.

“Ini sudah ada putusan PHI. Kalau dia kasasi ya nanti naik ke kasasi,” ungkapnya.

Kasus ini mencerminkan persoalan klasik dalam dunia perburuhan Indonesia—ketimpangan kekuasaan antara pengusaha dan buruh, serta lemahnya penegakan hukum ketenagakerjaan. Ketika buruh hanya mampu mengandalkan serikat dan jalur hukum yang memakan waktu, sementara perusahaan bisa terus menunda dan menunda, keadilan pun menjadi sesuatu yang mahal dan lambat.

Kini, Supartini, Sumarno, dan ratusan buruh lainnya hanya bisa berharap bahwa putusan hukum akan benar-benar ditegakkan. Lebih dari sekadar angka pada rekening, mereka menanti keadilan atas hak yang seharusnya menjadi milik mereka sejak lama.

Baca Juga : Trump Kejutkan Dunia: Tarif 100% untuk Film Asing

Penulis:

Nida Ulfa

Related Post

Tinggalkan komentar