Harga minyak mentah dunia mencatat kenaikan tipis pada perdagangan Jumat (14/3/2025), didorong sanksi baru Amerika Serikat terhadap Iran. Namun, ketegangan perdagangan global dan ancaman kelebihan pasokan tetap menekan pasar.
Pada penutupan perdagangan:
- Minyak Brent kontrak Mei 2025 naik 0,74% ke US$70,40 per barel.
- Minyak West Texas Intermediate (WTI) menguat 0,80% ke US$67,08 per barel.
Meskipun rebound, WTI masih dalam tren pelemahan mingguan selama delapan pekan berturut-turut.
Sanksi AS ke Iran: Dorongan Sementara bagi Harga Minyak
Kenaikan harga minyak dipicu oleh sanksi baru AS terhadap Iran. Departemen Keuangan AS menargetkan sejumlah kapal berbendera Hong Kong yang terlibat dalam “armada bayangan” Iran — jaringan kapal yang membantu Iran menjual minyak secara diam-diam meski menghadapi embargo.
Langkah ini bagian dari kampanye “tekanan maksimum” AS untuk membatasi pendapatan energi Teheran. Sanksi ini diperkirakan mengganggu pasokan minyak Iran, yang merupakan salah satu produsen besar di Timur Tengah.
Dengan pasokan Iran yang berpotensi tersendat, harga minyak mendapatkan dukungan jangka pendek.
Perang Dagang dan Ancaman Tarif AS Tekan Pasar
Meski ada dorongan dari sanksi, pasar minyak tetap dibayangi tekanan dari ketegangan perdagangan global. Presiden AS Donald Trump mengancam akan memberlakukan tarif 200% terhadap anggur dan sampanye asal Eropa.
Ancaman ini memicu kekhawatiran lebih luas. Ekonom menilai, jika perang dagang AS-Eropa meluas, pertumbuhan ekonomi global bisa melambat, yang pada akhirnya menekan permintaan minyak.
“Pasar minyak sangat sensitif terhadap prospek pertumbuhan global. Perang dagang berkepanjangan bisa memperparah pelemahan ekonomi dan memangkas kebutuhan energi di seluruh dunia,” kata John Kilduff, analis dari Again Capital.
Geopolitik Rusia-Ukraina Picu Ketidakpastian Baru
Selain ketegangan dagang, pasar juga dipengaruhi oleh ketidakpastian soal konflik Rusia-Ukraina. Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan Moskow menyetujui proposal gencatan senjata dari AS, namun meminta jaminan perdamaian jangka panjang sebelum benar-benar menyepakati kesepakatan tersebut.
Ketidakpastian ini membuat pelaku pasar waspada, mengingat Rusia adalah salah satu produsen minyak terbesar dunia. Jika konflik berlarut-larut, pasokan energi dari Rusia ke Eropa bisa terganggu — berpotensi memicu lonjakan harga baru.
Ancaman Kelebihan Pasokan Bayangi Pemulihan Harga
Meski harga minyak naik tipis, ancaman kelebihan pasokan global tetap membebani pasar.
Menurut laporan terbaru Badan Energi Internasional (IEA):
- Pasokan minyak global diperkirakan melampaui permintaan hingga 600.000 barel per hari (bph) sepanjang 2025.
- Pertumbuhan permintaan diproyeksikan hanya 1,03 juta bph — turun 70.000 bph dari perkiraan sebelumnya.
Produksi minyak dari negara non-OPEC, terutama AS, terus meningkat. Lonjakan produksi ini menciptakan surplus yang menekan harga.
“Produksi minyak serpih (shale) AS terus tumbuh. Ini membuat pasar dibanjiri pasokan, sementara permintaan justru melambat. Ini situasi yang sulit,” kata Fatih Birol, Direktur Eksekutif IEA.
OPEC+ Mulai Longgarkan Pembatasan Produksi
Tekanan bertambah setelah OPEC+, kelompok produsen minyak yang dipimpin Arab Saudi dan Rusia, mulai melonggarkan pemangkasan produksi yang diberlakukan sejak pandemi.
Beberapa negara anggota kini menaikkan output untuk menjaga pangsa pasar masing-masing. Hal ini justru memperparah ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan.
“Kami khawatir OPEC+ akan kehilangan kendali atas pasar jika terlalu cepat meningkatkan produksi di tengah permintaan yang lemah,” ujar Amrita Sen, analis energi dari Energy Aspects.
Investor Waspada, Pantau Dinamika Geopolitik dan Kebijakan Produsen
Para investor kini cenderung mengambil posisi hati-hati. Fokus utama mereka tertuju pada:
🔹 Kebijakan lanjutan AS terkait sanksi Iran dan perang dagang.
🔹 Perkembangan gencatan senjata Rusia-Ukraina dan dampaknya pada ekspor energi Rusia.
🔹 Respons OPEC+ dalam menyikapi surplus pasokan global.
Analis memperkirakan, jika ketegangan geopolitik berlarut-larut, harga minyak berpotensi naik lebih tinggi. Namun, jika produksi terus melonjak dan permintaan tetap lesu, harga bisa kembali jatuh.