Kontroversi Kebijakan Dedi Mulyadi di Ujung Tanduk

Nida Ulfa

Adhel Setiawan (kiri), wali murid yang berani kritik dan laporkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (kanan) ke Komnas HAM atas program siswa nakal masuk barak militer, Jumat (9/5/2025).
Adhel Setiawan (kiri), wali murid yang berani kritik dan laporkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (kanan) ke Komnas HAM atas program siswa nakal masuk barak militer, Jumat (9/5/2025).

Program pendidikan berkarakter berbasis barak militer yang digagas oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memicu gelombang kritik dan kontroversi. Salah satu penentangnya, Adhel Setiawan—wali murid asal Babelan, Kabupaten Bekasi—melaporkan Dedi ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Kamis, 8 Mei 2025, dengan tudingan bahwa kebijakan tersebut melanggar hak asasi anak.

Adhel, bersama kuasa hukumnya Rezekinta Sofrizal dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pendidikan Indonesia, menyampaikan bahwa program ini menjadikan anak sebagai obyek yang tidak dimanusiakan, dengan menempatkan mereka di lingkungan militer untuk alasan pembentukan karakter.

“Anak-anak, meskipun nakal, tetap harus dibimbing oleh guru, orangtua, atau pemerintah. Bukan tentara. Tidak ada jaminan bahwa masuk barak bisa memperbaiki perilaku mereka,” tegas Adhel saat ditemui di Babelan pada Senin, 12 Mei 2025.

Pendidikan atau Pelatihan Militer?

Program ini dirancang untuk anak-anak yang dianggap “sulit dibina” dan terindikasi terlibat pergaulan bebas atau tindakan kriminal. Mereka akan dikirim ke barak militer selama enam bulan, hasil kesepakatan antara pihak sekolah dan orangtua. Di sana, anak-anak dilatih dengan pendekatan disiplin ketat yang identik dengan dunia kemiliteran—potong rambut, seragam loreng, pelatihan baris-berbaris, hingga latihan fisik di medan berlumpur.

Namun, pendekatan seperti ini dinilai oleh banyak pihak sebagai bentuk kekerasan simbolik yang mengabaikan hak anak atas lingkungan belajar yang mendukung dan memanusiakan.

“Tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia. Harusnya anak-anak ini diajak bicara, didengar keinginannya, bukan dimarahi apalagi didisiplinkan oleh militer. Ini bukan solusi, tapi bentuk keputusasaan,” ujar Adhel.

Ia juga mempertanyakan transparansi pelatihan dan siapa saja pihak yang terlibat. “Kita tidak tahu metode pelatihannya seperti apa, siapa pelatihnya. Semuanya gelap,” tambahnya.

Sorotan dari Perspektif Hukum dan HAM

Rezekinta Sofrizal, kuasa hukum Adhel dan Direktur Eksekutif LBH Pendidikan Indonesia, menilai bahwa pelibatan militer dalam dunia pendidikan melampaui fungsi dan tugas pokok institusi tersebut. Menurutnya, seharusnya pemerintah fokus pada edukasi parenting kepada para orangtua.

“Karena pada dasarnya, pendidikan anak bukan hanya tanggung jawab sekolah, tapi juga keluarga. Justru lemahnya peran orangtua dalam memahami ilmu parentinglah yang sering kali jadi akar masalah,” jelas Rezekinta.

Ia menegaskan bahwa pendekatan barak militer ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan modern yang berbasis hak anak dan pembinaan psikologis yang sehat.

Baca Juga : Dedi Mulyadi: Kritik Silakan, Ancam Jangan!

Dukungan dari Pemerintah Pusat

Meski menuai kritik, program ini mendapat dukungan dari Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai. Ia bahkan menyebut, jika program ini terbukti berhasil di Jawa Barat, maka akan didorong agar dapat diterapkan secara nasional.

“Kalau Jawa Barat sukses, maka sesuai kewenangan kami di Kementerian HAM, kami akan menyarankan ke Menteri Pendidikan Nasional untuk menjadikan ini program nasional,” kata Pigai, usai bertemu dengan Gubernur Dedi Mulyadi, Kamis (8/5/2025).

Pemerintah Provinsi Jawa Barat sendiri telah menggandeng TNI dan Polri untuk pelaksanaan program ini di sejumlah wilayah. Dedi Mulyadi menilai, pendekatan disiplin ala militer dibutuhkan untuk membentuk karakter anak yang kuat dan bertanggung jawab.

Namun, pertanyaannya kini bergulir: apakah “karakter” harus dibentuk dengan cara menempatkan anak-anak di lingkungan keras dan disipliner seperti barak militer?

Tantangan Falsafah Pendidikan

Kritik yang paling fundamental terhadap program ini datang dari filosofi dasar pendidikan itu sendiri. Bagi para penentang, seperti Adhel dan Rezekinta, kebijakan ini mencerminkan kegagalan memahami esensi pendidikan: menumbuhkan potensi manusia melalui pendekatan yang empatik, bukan otoriter.

“Sepertinya Pak Dedi tidak memahami falsafah pendidikan. Pendidikan bukan sekadar membuat anak disiplin secara fisik, tapi juga secara mental dan emosional,” ujar Adhel.

Kontroversi program barak militer ini menjadi peringatan penting akan pentingnya perumusan kebijakan pendidikan yang melibatkan ahli, memahami kondisi psikologis anak, serta memprioritaskan pendekatan humanis dan partisipatif.

Dengan laporan yang telah masuk ke Komnas HAM, perdebatan mengenai batas-batas peran negara, institusi militer, dan hak anak dalam dunia pendidikan Indonesia kini memasuki babak baru.

Apakah pendidikan kita sedang bergerak maju—atau justru mundur ke era disiplin koersif? Waktu dan respons publik akan menjadi penentu arah kebijakan ini ke depan.

Baca Juga : Dedi Mulyadi: “KB Solusi Konkret Atasi Kemiskinan”

Penulis:

Nida Ulfa

Related Post

Tinggalkan komentar