Jakarta – Sidang lanjutan kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR dan perintangan penyidikan yang menjerat Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto, kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Jumat (16/5/2025). Dalam persidangan kali ini, tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Arif Budi Raharjo, sebagai saksi.
Kesaksian Arif sontak menjadi sorotan. Pasalnya, menurut Hasto, Arif memberikan keterangan yang bersifat asumtif dan tidak berdasarkan pengalaman langsung. Hal ini memunculkan pertanyaan besar mengenai validitas kesaksian dalam konteks hukum acara pidana.
“Ini juga satu proses yang agak khusus bahkan baru pertama kali terjadi. Seorang penyidik dari KPK menjadi saksi terhadap suatu peristiwa yang tidak dilihat, tidak didengar, dan tidak dialami secara langsung. Sehingga, kembali terbukti bahwa yang disampaikan banyak merupakan opini, bahkan bisa dikategorikan suatu konstruksi dengan tujuan-tujuan tertentu, yang pasti itu memberatkan saya,” kata Hasto kepada wartawan saat jeda sidang.
Pernyataan Hasto tersebut menegaskan keberatannya terhadap metode dan pendekatan hukum yang menurutnya tidak adil serta berpotensi menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum.
Baca Juga : Muncul “Perintah Ibu” dalam Sidang Hasto dan Klarifikasi PDI-P
Tuduhan Aktor Intelektual: Respons Hasto
Dalam sidang itu pula, Hasto menanggapi tudingan bahwa dirinya merupakan aktor intelektual di balik upaya memasukkan Harun Masiku ke DPR lewat jalur PAW. Menurut Hasto, langkah-langkah yang diambil saat itu—termasuk pengajuan judicial review ke Mahkamah Agung—adalah sikap resmi partai, bukan atas nama pribadi.
“Yang saya agak kaget juga, disebut sebagai aktor intelektual hanya karena memberikan suatu arahan dan kemudian melaporkan. Padahal, apa yang saya lakukan terhadap proses awal adalah tindakan konstitusional sebagai hak resmi dari partai politik. Judicial review ke Mahkamah Agung dan permintaan fatwa adalah bentuk tindakan organisatoris dari kelembagaan partai,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa semua langkah tersebut dilakukan secara terbuka dan berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku, bukan sebagai upaya manipulasi atau intervensi ilegal.
Sidang yang Disebut “Daur Ulang”

Sejumlah politisi PDIP yang hadir dalam sidang Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus
Tak hanya mempertanyakan kesaksian penyidik KPK, Hasto juga menyebut kasus yang menjeratnya merupakan “persidangan daur ulang.” Menurutnya, materi perkara yang diangkat sudah pernah muncul sebelumnya dan dipaksakan kembali ke ruang sidang tanpa adanya bukti baru yang relevan.
Hal ini menimbulkan spekulasi mengenai adanya muatan politis dalam proses penanganan kasus, meski tudingan tersebut belum terbukti dan masih perlu diuji di pengadilan.
Baca Juga : Hasto Mengaku Menerima Ancaman Dari Kasusnya
Dakwaan dan Aliran Uang
Dalam dakwaannya, jaksa menyebut Hasto bersama Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku diduga telah memberikan uang sebesar SGD 57.350 atau sekitar Rp 600 juta kepada Wahyu Setiawan, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017–2022. Uang tersebut diberikan dengan tujuan memuluskan proses PAW agar Harun Masiku bisa menggantikan Nazarudin Kiemas sebagai anggota DPR dari Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I.
“Memberi atau menjanjikan sesuatu, yaitu Terdakwa bersama-sama Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku telah memberi uang sejumlah SGD 57.350 atau setara Rp 600 juta kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, yaitu kepada Wahyu Setiawan,” ujar jaksa dalam pembacaan surat dakwaan.
Harun Masiku sendiri hingga kini masih berstatus buron dan menjadi salah satu tersangka paling dicari oleh KPK. Keterlibatan figur yang masih menghilang ini menambah kompleksitas perkara yang menyeret Hasto dan sejumlah pihak lainnya.
Dinamika Hukum dan Bayang-Bayang Politik
Persidangan Hasto Kristiyanto menjadi panggung hukum yang menarik perhatian publik, bukan hanya karena posisinya sebagai elite partai, tetapi juga karena pertarungan narasi antara proses hukum dan dugaan muatan politik. Pihak Hasto berulang kali menekankan bahwa kasus ini sarat akan interpretasi hukum yang dipelintir dan diangkat secara selektif.
Namun di sisi lain, KPK dan tim jaksa menyatakan bahwa proses penanganan kasus berjalan sesuai prosedur, berdasarkan fakta-fakta hukum dan keterangan saksi-saksi, serta alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Persidangan masih akan berlanjut dalam beberapa pekan ke depan. Banyak pihak menanti apakah rangkaian kesaksian dan bukti yang diajukan akan cukup kuat untuk membuktikan peran Hasto dalam skema suap yang menyeret Harun Masiku. Atau justru, akan terbuka ruang bagi pembuktian bahwa Hasto memang hanya menjalankan fungsi kelembagaan partai, tanpa keterlibatan personal dalam tindakan pidana.
Yang pasti, kasus ini sekali lagi menguji komitmen terhadap keadilan dan transparansi hukum di negeri ini—di tengah sorotan publik yang terus mengawasi dari dekat.
Baca Juga : Hasto Kristiyanto Sebut Ada Ancaman Jika PDIP Pecat Jokowi