Memasuki penghujung Mei 2025, sebagian wilayah Indonesia telah dinyatakan masuk ke musim kemarau. Namun kenyataannya, hujan masih kerap turun, terutama pada sore hingga malam hari. Hal ini menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat: mengapa hujan masih terjadi meski musim kemarau telah tiba?
Menurut analisis terkini terhadap dinamika cuaca nasional, Indonesia saat ini berada dalam fase peralihan musim atau yang dikenal dengan masa pancaroba. Fase ini ditandai dengan kondisi cuaca yang tidak menentu—cerah pada pagi hingga siang hari, lalu mendadak berubah menjadi hujan di sore hingga malam. Situasi ini merupakan ciri khas peralihan dari musim hujan ke musim kemarau, di mana atmosfer cenderung labil akibat perbedaan suhu dan kelembaban yang cukup ekstrem.
Selain itu, suhu udara yang terasa lebih menyengat pada siang hari ternyata juga disebabkan oleh kelembaban udara yang tinggi. Kombinasi ini menciptakan kondisi atmosfer yang sangat labil dan memicu terbentuknya awan-awan konvektif seperti Cumulonimbus, yaitu jenis awan yang berpotensi menyebabkan hujan lebat, petir, angin kencang, bahkan hujan es dalam durasi yang singkat.
Fenomena hujan di musim kemarau ini tidak hanya dipengaruhi oleh faktor lokal, tetapi juga oleh dinamika atmosfer berskala luas. Beberapa faktor global seperti aktivitas Madden-Julian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin, dan gelombang Rossby Ekuatorial turut berperan dalam pembentukan awan hujan di wilayah Indonesia, khususnya di bagian barat dan tengah. Gelombang-gelombang atmosfer ini membawa peningkatan kelembaban dan ketidakstabilan udara yang memperbesar peluang terjadinya hujan intens.
Baca Juga :Peringatan BMKG: RI Resmi Musim Kemarau, Siaga Cuaca Ekstrem Tiba-Tiba
Dalam sepekan terakhir, hujan lebat yang terjadi di berbagai daerah seperti Aceh, Sumatra Barat, Jambi, Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, hingga Jawa Tengah telah memicu bencana hidrometeorologi. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara klimatologis sudah memasuki musim kemarau, potensi cuaca ekstrem tetap tinggi.
Fenomena lain yang perlu dicermati adalah potensi terjadinya kemarau basah. Ini adalah kondisi di mana curah hujan masih tinggi meskipun berada di musim kemarau. Biasanya, curah hujan di musim kemarau berkisar di bawah 50 milimeter per bulan. Namun, dalam kondisi kemarau basah, angka tersebut bisa melampaui 100 milimeter per bulan. Tahun 2025 diprediksi akan membawa fenomena ini ke banyak wilayah, terutama di 185 Zona Musim (ZOM) atau sekitar 26 persen wilayah Indonesia.
Wilayah yang diprediksi mengalami kemarau basah antara lain sebagian kecil Aceh, sebagian besar Lampung, wilayah barat hingga tengah Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, sebagian kecil Sulawesi, serta sebagian Papua bagian tengah. Wilayah-wilayah ini diperkirakan akan menerima akumulasi curah hujan musiman yang lebih tinggi dari biasanya, membuat musim kemarau terasa “tidak kering”.
Secara khusus, kawasan Jabodetabek saat ini berada dalam masa pancaroba. Di masa ini, cuaca cenderung ekstrem dan sulit diprediksi. Udara yang hangat sejak pagi menciptakan ketidakstabilan atmosfer, yang pada gilirannya memicu pertumbuhan awan-awan konvektif penyebab hujan deras dan angin kencang. Hujan yang terjadi dalam masa ini biasanya bersifat lokal, dengan intensitas sedang hingga lebat, dan berlangsung dalam waktu singkat.
Awal musim kemarau di Jabodetabek sendiri diperkirakan terjadi secara bertahap mulai dari akhir April hingga Juni 2025. Perbedaan waktu masuk musim kemarau ini bergantung pada letak geografis dan pengaruh dinamika atmosfer di masing-masing wilayah.
Kesimpulannya, meskipun sebagian wilayah Indonesia secara resmi telah memasuki musim kemarau, berbagai faktor meteorologis lokal dan global menyebabkan hujan masih sering turun. Ini mencerminkan betapa kompleks dan dinamisnya sistem cuaca di wilayah tropis seperti Indonesia. Masyarakat diimbau untuk tetap waspada terhadap potensi cuaca ekstrem, terutama selama masa pancaroba dan di tengah kemungkinan kemarau basah yang diprediksi terjadi di berbagai wilayah tahun ini.
Baca Juga :Kemarau Basah Berlanjut hingga Agustus 2025