Menaikkan Tarif Royalti Untuk Sektor Pertambangan

Fano Tresno

Bakal Jadi Sasaran Baru Prabowo Naikkan Cuan Negara

Pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto kini tengah berupaya mengoptimalkan potensi pendapatan negara dari sumber daya alam, salah satunya dengan menaikkan tarif royalti untuk sektor pertambangan mineral dan batu bara (minerba).

Namun, kebijakan ini mendapat respons kritis dari pelaku industri yang merasa beban mereka semakin berat. Contohnya, tarif royalti nikel yang semula 10% direncanakan naik menjadi 14-19%.

Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menyebutkan bahwa jika kenaikan ini diterapkan, Indonesia akan memiliki tarif royalti nikel tertinggi dibandingkan negara produsen nikel lainnya.

“Saat ini saja tarif kita 10% sudah tertinggi dibanding negara lain. Kalau naik ke 14-19%, posisi kita akan semakin di atas negara-negara penghasil nikel lainnya,” ujar Meidy dalam konferensi pers, Senin (14/3/2025).

Ia menjelaskan bahwa di negara-negara seperti Amerika Serikat, negara-negara Asia, Eropa, dan bahkan negara tetangga, tarif royalti nikel cenderung lebih rendah — bahkan ada yang menerapkan sistem royalti berbasis keuntungan, bukan volume produksi.

Menurut Meidy, kenaikan royalti ini memperberat industri yang sudah lebih dulu terbebani berbagai kebijakan lain, seperti kenaikan harga B40, aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE), hingga Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang naik menjadi 12%.

Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia. Ia mengatakan bahwa kenaikan royalti ini hanya menambah tekanan bagi industri yang sudah lebih dulu dihantam berbagai regulasi baru.

“Awal tahun saja kita sudah dihadapkan dengan ‘badai’ kebijakan yang bertubi-tubi. Mulai dari implementasi biodiesel B40, kewajiban DHE ekspor, PPN 12%, hingga Global Minimum Tax. Sekarang ditambah lagi wacana kenaikan royalti ini,” jelas Hendra.

Ia juga menyoroti bahwa industri batu bara mengalami hal serupa, dengan royalti tinggi dan harga jual domestik yang sudah dipatok sejak 2018.

Sementara itu, Direktur Utama PT Aneka Tambang Tbk (Antam), Nicolas D. Kanter, menilai pemerintah perlu lebih cermat membedakan tarif royalti antara bijih nikel mentah (ore) dan produk akhir hasil pengolahan.

Menurut Nico, jika royalti bijih nikel terlalu tinggi, investor bisa saja enggan membangun smelter. Padahal, pemerintah sedang berupaya mendorong pembangunan smelter di dalam negeri.

“Kalau tarif bijih nikel tinggi, bisa saja orang hanya berhenti di ore dan malas melanjutkan ke tahap pengolahan. Ini justru bisa menghambat hilirisasi yang kita kejar,” ujarnya dalam acara CNBC Indonesia Mining Forum, Jumat (21/3/2025).

Kebijakan ini kini jadi sorotan banyak pihak, dengan harapan pemerintah dapat menemukan solusi yang tetap mendukung pendapatan negara tanpa mematikan industri tambang yang berkontribusi besar bagi ekonomi nasional.

Penulis:

Fano Tresno

Related Post

Tinggalkan komentar