Presiden terpilih Prabowo Subianto menggebrak dunia ketenagakerjaan Indonesia dengan janji berani: menghapus sistem kerja outsourcing. Janji ini ia lontarkan dalam pidato Hari Buruh di Monas, Jakarta Pusat, Kamis (1/5). Tak hanya sekadar ucapan politis, Prabowo bahkan menyatakan akan membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional demi merealisasikan target tersebut “secepat-cepatnya”.
Namun, gaung keberanian ini segera mendapat respons serius dari dunia usaha. Pengusaha, lewat Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin), meminta agar rencana ini tidak gegabah. Mereka menegaskan bahwa penghapusan outsourcing tak semudah membalikkan telapak tangan.
Bob Azam, Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO, menyoroti bahwa wacana penghapusan outsourcing harus dilandasi kajian teknokratis yang menyeluruh. Menurutnya, perlu diperjelas dahulu: apa sebenarnya yang ingin dihapus? Apakah sistem outsourcing-nya atau implementasinya yang bermasalah?
“Kalau problemnya di penerapan, maka perbaikilah implementasinya. Tapi kalau sistemnya yang dinilai keliru, barulah perlu evaluasi menyeluruh,” ujar Bob.
Ia juga mengingatkan pemerintah untuk belajar dari negara lain yang sukses memanfaatkan outsourcing sebagai motor penggerak ekonomi. India, katanya, menjadi pusat outsourcing teknologi global, sementara Filipina menjadikan sektor ini sebagai pilar pertumbuhan ekonomi nasional.
“Kalau kita asal hapus, justru bisa menciptakan pemusatan ekonomi dan menghambat pemerataan kesejahteraan. Ini bukan langkah kecil, ada dampak sistemik yang harus diperhitungkan,” tambahnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin, Sarman Simanjorang, juga menyuarakan nada serupa. Baginya, outsourcing bukan isu hitam putih yang bisa dihapus begitu saja. Ada banyak nuansa dan kepentingan yang harus dipertimbangkan, baik dari sudut pandang dunia usaha maupun pekerja.
“Ini bukan soal setuju atau tidak. Ini soal perlunya diskusi mendalam. Harus jelas yang dihapus itu apa — pekerjanya, sektor usahanya, atau bentuk kontraknya? Karena outsourcing juga bagian dari kebutuhan pengusaha dalam mengelola efisiensi,” tegasnya.
Sarman juga menambahkan bahwa idealnya wacana ini dibahas dalam kerangka yang lebih luas, misalnya lewat revisi RUU Ketenagakerjaan. Dengan begitu, penghapusan outsourcing tidak menjadi keputusan sepihak, tapi hasil dari proses demokratis yang melibatkan semua pihak.
Kisruh seputar outsourcing ini menunjukkan satu hal penting: dunia kerja sedang memasuki era transisi besar di bawah kepemimpinan baru. Janji Prabowo memberi harapan baru bagi buruh, namun juga mengundang kekhawatiran dari pelaku usaha. Jalan tengah yang adil dan realistis kini sangat dibutuhkan agar reformasi ketenagakerjaan tak berubah jadi bumerang ekonomi.
Akankah Prabowo mampu menepati janjinya tanpa mengguncang dunia usaha? Ataukah, seperti banyak kebijakan sebelumnya, wacana ini akan berhenti sebagai retorika belaka? Yang jelas, masa depan sistem kerja Indonesia tengah berada di persimpangan krusial.
Baca Juga : Perpisahan Sang Legenda, Biarawati Sepak Bola Berusia 116 Tahun