Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, akhirnya angkat bicara setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk membekukan sebagian kewenangan pemerintahannya. Keputusan mengejutkan ini menjadi pukulan politik yang tidak ringan bagi pemimpin muda yang baru menjabat beberapa bulan lalu. Paetongtarn, yang juga merupakan putri dari mantan PM Thaksin Shinawatra, menyampaikan pernyataan terbuka yang penuh ketegasan namun tetap bernada damai.
Dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Pemerintahan Thailand, Paetongtarn menyatakan bahwa ia menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi, namun menegaskan bahwa demokrasi tidak boleh dikerdilkan oleh kepentingan tertentu. “Saya menerima keputusan Mahkamah dengan hati yang terbuka. Tapi saya ingin rakyat tahu, perjuangan kita belum berakhir. Kami tidak akan mundur dari tekad untuk membangun Thailand yang lebih adil dan demokratis,” ujarnya.
Pernyataan itu sontak mendapat sorotan luas, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga dari komunitas internasional. Paetongtarn menambahkan bahwa saat ini yang paling penting adalah menjaga stabilitas negara dan kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan pemerintahan. “Ini bukan tentang saya, ini tentang rakyat Thailand. Tentang suara mereka, harapan mereka, dan masa depan mereka,” kata PM berusia 38 tahun itu.
Pembekuan kekuasaan yang dimaksud mencakup pembatasan dalam pengambilan keputusan strategis, terutama yang menyangkut kebijakan luar negeri dan keuangan negara. Meski tidak secara langsung mencopot Paetongtarn dari jabatannya, keputusan Mahkamah membuatnya harus berkonsultasi dengan dewan penasihat yang ditunjuk secara konstitusional sebelum mengambil langkah besar dalam pemerintahan.
Langkah hukum ini muncul setelah beberapa kelompok oposisi melayangkan gugatan terhadap pemerintahan Paetongtarn. Mereka menuduh adanya konflik kepentingan dan pelanggaran prosedur dalam proses pengesahan beberapa kebijakan utama. Walau tuduhan itu masih dalam tahap pembuktian, Mahkamah memilih untuk memberlakukan pembekuan sementara sebagai bentuk pencegahan.
Namun di mata pendukungnya, keputusan ini dinilai sebagai bentuk kriminalisasi terhadap pemimpin yang sah. Mereka menggelar aksi damai di berbagai kota besar seperti Bangkok, Chiang Mai, dan Nakhon Ratchasima, menuntut pemulihan penuh kekuasaan PM Paetongtarn. Mereka membawa poster bertuliskan “Suara Rakyat Tidak Bisa Dibekukan” dan “Kami Berdiri Bersama Paetongtarn”.
Di hadapan para pendukungnya, Paetongtarn kembali menegaskan komitmennya untuk terus bekerja demi rakyat. Ia menolak untuk membiarkan konflik politik merusak harapan masyarakat yang telah memilihnya secara demokratis. “Saya tahu ini jalan yang berat, tapi saya tidak sendiri. Selama rakyat masih percaya, saya akan terus berdiri,” ucapnya disambut sorak sorai pendukung.
Sejumlah analis politik menyebut bahwa peristiwa ini bisa menjadi momen krusial dalam perjalanan demokrasi Thailand. Paetongtarn, yang mewarisi pengaruh politik keluarga Shinawatra, dinilai membawa semangat reformasi yang cukup progresif. Namun tantangan politik dan hukum yang ia hadapi menunjukkan bahwa perubahan di negeri Gajah Putih ini tidak akan terjadi tanpa pertarungan panjang.
Sementara itu, pihak Mahkamah menyatakan bahwa keputusan pembekuan tidak bersifat politis, melainkan murni berdasarkan analisis hukum dan konstitusi. Mereka meminta publik untuk tidak mengaitkannya dengan tekanan atau kepentingan tertentu. Namun tetap saja, keputusan tersebut memicu perdebatan tajam antara pendukung dan penentang pemerintahan saat ini.
Paetongtarn juga menyerukan agar semua pihak menahan diri dan tidak menggunakan kekerasan sebagai alat perjuangan. Ia menekankan pentingnya dialog dan proses hukum sebagai jalan keluar dari krisis. “Kita bisa berbeda pandangan, tapi kita tidak boleh berbeda dalam cinta kita kepada bangsa,” tutupnya.
Kini, nasib politik Paetongtarn berada di titik genting. Apakah ia akan mampu melewati badai ini dan melanjutkan reformasi? Ataukah kekuatan lama akan kembali mengambil alih panggung politik Thailand? Jawabannya akan sangat menentukan arah masa depan negara tersebut dalam beberapa tahun ke depan.
Baca Juga : Ribuan Warga Thailand Desak Perdana Menteri Mundur