Pecalang Bali Bersatu: Tolak Premanisme Berkedok Ormas

Nida Ulfa

Sebanyak 13 ribu pecalang dari 1.500 Desa Adat di Bali mendeklarasikan penolakan kehadiran preman yang berkedok organisasi masyarakat (ormas).
Sebanyak 13 ribu pecalang dari 1.500 Desa Adat di Bali mendeklarasikan penolakan kehadiran preman yang berkedok organisasi masyarakat (ormas).

DENPASAR — Sebuah peristiwa penting dalam perjalanan pelestarian budaya dan keamanan Bali tercatat pada Sabtu, 17 Mei 2025. Sebanyak 13.000 pecalang dari 1.500 desa adat di seluruh Bali berkumpul di Lapangan Puputan Margarana, Niti Mandala, Denpasar, dalam gelaran akbar bertajuk “Gelar Agung Pecalang”.

Mereka tak hanya hadir sebagai simbol budaya, tetapi juga membawa satu suara bulat: menolak kehadiran premanisme yang berkedok organisasi masyarakat (ormas). Di tengah semangat adat dan harum dupa yang mengepul dari persembahan tradisional, para pecalang menyampaikan deklarasi tegas sebagai bentuk perlawanan terhadap ancaman terhadap keamanan dan nilai luhur Bali.

Garda Terdepan Adat dan Budaya

Ketua Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet, dalam pidatonya menyampaikan bahwa pecalang merupakan benteng utama pelestarian adat dan budaya Bali sejak zaman leluhur.

“Pecalang Bali bukan sekadar penjaga lalu lintas saat upacara. Mereka adalah perisai hidup adat dan tradisi Bali,” ujarnya dengan penuh semangat. “Kami menolak kriminalisme, premanisme, dan segala bentuk tindakan anarkis yang dilakukan oleh pihak-pihak yang menyamar sebagai ormas.”

Dalam orasi yang menggetarkan semangat ribuan peserta, Sukahet menyebutkan bahwa Bali memiliki mekanisme keamanan berbasis adat yang selama ini terbukti efektif menjaga ketertiban masyarakat, terutama dalam konteks kegiatan adat, keagamaan, dan kehidupan sehari-hari.

Tiga Poin Deklarasi Pecalang

Deklarasi yang dibacakan bersama ribuan pecalang itu berisi tiga poin utama:

  1. Menolak keras keberadaan ormas yang melakukan aksi premanisme, kriminalisasi, serta intimidasi terhadap masyarakat Bali.
  2. Mendukung penuh TNI dan Polri dalam menciptakan keamanan dan ketertiban di wilayah Bali.
  3. Menguatkan sistem keamanan terpadu berbasis desa adat, yakni Sipandu Beradat dan Bankamda, sebagai upaya kolektif menjaga keamanan dari akar rumput.

“Sipandu Beradat dan Bankamda bukan hanya program, tapi bagian dari jiwa Bali. Kami menjaga dengan sepenuh hati,” tambah Sukahet.

Baca Juga : Gubernur Bali tolak KB dua anak demi kelangsungan budaya

Sinergi dengan Aparat Negara

Pecalang sebagai kekuatan lokal telah lama bersinergi dengan TNI dan Polri. Di berbagai upacara besar maupun krisis lokal, pecalang tampil di garis depan bersama aparat keamanan negara. Kolaborasi ini menjadi bukti bahwa masyarakat adat memiliki peran vital dalam menciptakan rasa aman di tengah masyarakat.

“Selama ini, Bali damai bukan karena kekerasan, tapi karena kearifan. Pecalang adalah penjaga damai berbasis budaya,” ujar salah satu pecalang senior dari Karangasem.

Harapan untuk Kesejahteraan Pecalang

Tak hanya bicara soal keamanan, Sukahet juga menyuarakan harapan terhadap Pemerintah Provinsi Bali agar lebih memperhatikan kesejahteraan para pecalang. Ia menilai peran pecalang sebagai penjaga adat sudah sepatutnya mendapat insentif dan perlindungan yang layak.

“Kami bukan hanya penjaga adat, kami adalah benteng Bali. Sudah saatnya negara memberi perhatian yang setara atas peran ini,” tuturnya.

Menjaga Bali dengan Cinta, Bukan Kekerasan

Gelar Agung Pecalang hari itu bukan hanya seremoni, tetapi peneguhan identitas. Dalam era ketika batas antara budaya, politik, dan kepentingan kekuasaan sering kabur, deklarasi ini menjadi tameng spiritual dan sosial.

Para pecalang tak membawa senjata tajam, tetapi membawa tekad dan cinta kepada tanah kelahiran. Dengan pakaian adat dan ikat kepala khas Bali, mereka berdiri dalam formasi penuh disiplin, menunjukkan bahwa keamanan tak harus lahir dari kekuatan koersif, tetapi bisa tumbuh dari akar budaya dan rasa memiliki.

Dengan deklarasi ini, Bali kembali menegaskan jati dirinya: tanah suci yang dijaga oleh rakyatnya sendiri. Ancaman dari luar tidak akan bisa mengoyak Bali selama masyarakat adatnya tetap bersatu.

“Bali bukan untuk ditakuti dengan kekerasan. Bali untuk dihormati dengan kearifan,” ujar Sukahet di akhir pidatonya yang disambut tepuk tangan meriah.

Deklarasi ini menjadi pesan kuat: bahwa pecalang bukan hanya simbol masa lalu, tetapi benteng masa depan Bali.

Baca Juga : PLN Umumkan Listrik Bali Pulih 100%, Seluruh Pelanggan Menyala

Penulis:

Nida Ulfa

Related Post

Tinggalkan komentar