Anjloknya setoran pajak pada dua bulan pertama tahun 2025 memicu perdebatan panas di kalangan ekonom dan pemerintah. Setoran pajak hanya mencapai Rp187,8 triliun, terkontraksi hingga 30,19% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yaitu Rp269,02 triliun.
Ekonom menilai ini sebagai sinyal serius atas masalah ekonomi, sementara pemerintah bersikukuh menyebut situasi ini sebagai hal yang “biasa terjadi setiap tahun”.
Ekonom: Penurunan Pajak Cermin Masalah Ekonomi Serius
Guru Besar Ekonomi Pembangunan Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai penurunan drastis penerimaan pajak sebesar 30,1% bukan sekadar masalah teknis, melainkan cerminan gangguan struktural ekonomi nasional.
“Penurunan ini menandakan pelemahan konsumsi domestik, turunnya profitabilitas perusahaan, serta gangguan dalam administrasi perpajakan akibat sistem Coretax yang belum matang,” tegas Syafruddin, Jumat (14/3/2025).
Ia menyoroti Kementerian Keuangan yang hanya menyalahkan faktor teknis dan harga komoditas. Bagi Syafruddin, ini merupakan analisis yang terlalu dangkal.
Penurunan paling mencolok terlihat pada Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN), yang hanya tercatat Rp102,5 triliun — turun 9,53% dibandingkan Rp113,3 triliun di Februari 2024.
“Ini sinyal jelas bahwa daya beli masyarakat melemah. Kalau daya beli turun, artinya ekonomi kita sedang bermasalah,” ujarnya.
Syafruddin juga mengkritik pemerintah yang terkesan menutupi masalah. Menurutnya, mempertahankan kebijakan yang kurang efektif hanya akan memperburuk kondisi ekonomi dan mengikis kepercayaan investor serta masyarakat.
David Sumual: Indikator Ekonomi Lain Juga Melemah
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual, sependapat. Ia menilai, penurunan setoran pajak tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi yang memang sedang melambat.
“Kalau kita lihat dari berbagai indikator seperti belanja ritel, big data, penjualan mobil, dan barang tahan lama seperti motor, semuanya trennya menurun. Daya beli masyarakat jelas melemah, dan itu berimbas ke penerimaan pajak,” ujar David.
Menurut David, dibandingkan tahun lalu, ada faktor pendorong besar di kuartal I 2024 yang kini tak ada lagi, yaitu belanja pemerintah yang sangat agresif.
“Tahun lalu ada pemilu di Februari. Belanja pemerintah melonjak untuk mendorong ekonomi. Sekarang, setelah pemilu usai, aktivitas ekonomi menurun. Jadi wajar kalau penerimaan pajak ikut tertekan,” jelasnya.
Pemerintah: Ini Normal, Bukan Anomali
Di sisi lain, pemerintah melalui Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, menegaskan bahwa penurunan setoran pajak di awal tahun adalah hal yang “normal dan berulang tiap tahun”.
“Ini terjadi setiap tahun, bukan sesuatu yang aneh. Jadi kita anggap ini bukan anomali,” kata Anggito dalam konferensi pers di Kementerian Keuangan, Jumat (14/3/2025).
Meski begitu, ia mengakui ada dua faktor utama yang memperparah penurunan kali ini:
1️⃣ Penurunan harga komoditas — Harga minyak mentah turun 5,2%, batu bara anjlok 11,8%, dan nikel melemah 5,9% secara tahunan.
2️⃣ Masalah administrasi pajak — Anggito menolak menyalahkan sistem Coretax yang baru diterapkan sejak 1 Januari 2025, meski sistem ini sempat dikeluhkan oleh wajib pajak karena error dalam pelaporan.
Menurutnya, turunnya penerimaan lebih dipengaruhi oleh kebijakan Tarif Efektif Rata-rata (TER) yang diberlakukan sejak 2024. Khususnya pada PPh 21 (pajak penghasilan karyawan), yang menyebabkan lebih bayar sebesar Rp16,5 triliun tahun lalu.
“Kalau lebih bayar ini diklaim kembali atau dinormalisasi, sebetulnya rata-rata PPh di 2025 lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu,” dalih Anggito.
Siapa yang Lebih Tepat?
Perbedaan pandangan ini memicu perdebatan di publik. Ekonom menilai pemerintah menyepelekan masalah, sementara pemerintah berusaha meredam kekhawatiran.
Beberapa poin krusial yang jadi sorotan:
✅ Masalah struktural ekonomi — Ekonom sepakat bahwa daya beli melemah, perusahaan kurang untung, dan administrasi perpajakan bermasalah.
✅ Harga komoditas global — Penurunan harga minyak, batu bara, dan nikel memang berpengaruh besar ke pendapatan negara.
✅ Coretax dan kebijakan pajak — Sistem pajak baru dan kebijakan lebih bayar dituding jadi biang kerok, meski pemerintah membantah.
✅ Efek pemilu tahun lalu — Lonjakan belanja pemerintah di kuartal I 2024 ternyata membuat perbandingan tahun ini terlihat lebih buruk.
Apa Dampaknya bagi Ekonomi Nasional?
Kalangan ekonom memperingatkan bahwa jika masalah ini tak diatasi, dampaknya bisa panjang:
🔻 Defisit fiskal makin lebar — Penerimaan negara yang seret bisa memperparah defisit anggaran.
🔻 Daya beli makin turun — Lemahnya konsumsi domestik akan membuat ekonomi stagnan.
🔻 Kepercayaan investor menurun — Investor butuh kepastian ekonomi, bukan alasan teknis.
🔻 Pembangunan terhambat — Pendapatan negara yang berkurang bisa mengganggu proyek infrastruktur.