Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali tertekan di perdagangan sesi pertama Jumat (14/3/2025). IHSG merosot tajam sejak pembukaan pasar dan semakin dalam menjelang penutupan sesi pertama.
Saat pembukaan, IHSG langsung terkoreksi 1,22% atau 81 poin ke level 6.566,2. Tekanan jual terus berlanjut hingga akhirnya IHSG ditutup di sesi pertama dengan penurunan lebih dalam 1,58% ke level 6.542,71 — anjlok 105,49 poin.
Transaksi Ramai, Mayoritas Saham Melemah
Perdagangan kali ini mencatat aktivitas pasar yang cukup ramai:
- Nilai transaksi: Rp 4,12 triliun
- Volume saham: 7,7 miliar saham berpindah tangan
- Frekuensi: 641 ribu kali transaksi
Sebaran pergerakan saham menunjukkan dominasi sentimen negatif:
✅ 191 saham menguat
❌ 380 saham melemah
〽️ 221 saham stagnan
Mayoritas pelaku pasar tampak melakukan aksi ambil untung (profit taking) setelah reli panjang di beberapa saham unggulan, terutama di sektor teknologi.
Sektor Teknologi Paling Berdarah-darah
Hampir seluruh sektor saham tenggelam di zona merah. Sektor energi menjadi satu-satunya sektor yang masih bertahan dengan kenaikan tipis 0,18%.
Sementara itu, sektor teknologi menjadi sektor dengan koreksi terdalam, ambles 7,34%.
DCII Jadi “Laggard” Utama IHSG
Saham DCI Indonesia (DCII) menjadi sorotan karena mengalami penurunan drastis.
📉 DCII ambruk 20% ke level Rp 180.925 per saham, terkena auto reject bawah (ARB).
Padahal, sebelumnya saham DCII mencatat reli luar biasa sepanjang tahun ini, melesat lebih dari 300% sejak 18 Februari 2025. Kenaikan ini dipicu pernyataan pendiri Toto Sugiri terkait rencana stock split yang menarik minat besar investor.
Namun, kenaikan spektakuler tersebut kini berbalik arah. Penurunan DCII hari ini berkontribusi besar pada IHSG, menyumbang 59,71 poin indeks.
“Koreksi ini bisa dibilang wajar setelah euforia panjang. Kenaikan yang terlalu cepat rentan memicu aksi ambil untung besar-besaran,” ujar Reza Wibowo, analis saham dari PT Mega Capital.
Sektor Perbankan Ikut Jadi Beban IHSG
Selain teknologi, sektor perbankan juga menyeret IHSG ke zona merah. Saham Bank Central Asia (BBCA) — saham perbankan dengan kapitalisasi besar — turut melemah.
📉 BBCA turun 1,67% ke level Rp 8.825 per saham, menambah tekanan 9,76 poin indeks pada IHSG.
Sejak awal tahun, saham perbankan memang sulit bangkit karena tekanan ekonomi dan daya beli masyarakat yang melemah.
Defisit APBN Perparah Sentimen Negatif Pasar
Selain faktor teknikal dari saham-saham unggulan, IHSG juga tertekan oleh sentimen makroekonomi. Pemerintah mengumumkan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga akhir Februari 2025 mencatat defisit Rp 31,2 triliun atau 0,13% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
📉 Defisit ini merupakan yang pertama dalam empat tahun terakhir, berbanding terbalik dengan tren surplus sejak 2022.
Rincian realisasi APBN:
- Pendapatan negara: Rp 316,9 triliun
- Pajak: Rp 187,8 triliun (turun 30% dibanding periode yang sama 2024)
- Bea Cukai: Rp 52,6 triliun
- Belanja negara: Rp 348,1 triliun (9,6% dari target APBN)
- Belanja pusat: Rp 211,5 triliun
- Transfer ke daerah: Rp 136,6 triliun
Penurunan penerimaan pajak menjadi sorotan karena menandakan lemahnya aktivitas ekonomi domestik. Sektor konsumsi, industri, hingga perdagangan belum pulih sepenuhnya.
Ketergantungan Ekonomi pada Komoditas Makin Terlihat
Defisit APBN ini juga menegaskan betapa besar ketergantungan Indonesia terhadap harga komoditas global.
Sejak 2022, Indonesia menikmati lonjakan pendapatan berkat kenaikan harga batu bara, nikel, dan minyak sawit (CPO) yang melonjak akibat perang Rusia-Ukraina. Namun kini, harga komoditas mulai terkoreksi.
“Selama kita masih bergantung pada komoditas, fluktuasi ekonomi global akan terus mempengaruhi ekonomi domestik. Perlu diversifikasi ekonomi yang lebih kuat,” ujar Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS.
Prospek IHSG ke Depan: Masih Berpotensi Tertekan
Analis memperkirakan IHSG masih berpotensi melanjutkan pelemahan dalam beberapa pekan ke depan.
Faktor yang masih membayangi IHSG:
🔹 Koreksi lanjutan pada saham unggulan seperti DCII dan BBCA
🔹 Defisit APBN yang menekan kepercayaan investor
🔹 Lemahnya daya beli masyarakat
🔹 Ketidakpastian ekonomi global dan harga komoditas
Meski demikian, sektor energi berpotensi bertahan seiring stabilisasi harga minyak dunia.
“IHSG butuh katalis positif, baik dari pemulihan ekonomi domestik maupun perbaikan sentimen global. Kalau tidak ada dorongan baru, koreksi masih bisa berlanjut,” ujar Valery Tandiono, analis dari MNC Sekuritas.
Kesimpulan: IHSG dalam Tekanan Berat
IHSG menutup sesi pertama perdagangan Jumat (14/3/2025) dengan penurunan 1,58% ke level 6.542,71.
Faktor utama yang menekan IHSG:
✅ Saham DCI Indonesia (DCII) ambruk 20%, menyumbang 59,71 poin indeks
✅ Saham BBCA turun 1,67%, menambah tekanan 9,76 poin
✅ Defisit APBN Rp 31,2 triliun, pertama sejak 2021
✅ Ketergantungan ekonomi pada komoditas makin terasa seiring turunnya harga global