(KININEWS) – Pembunuhan enam guru serta pembakaran empat sekolah di Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan, oleh kelompok bersenjata merupakan tindakan keji yang menghancurkan masa depan Papua. Ini bukan sekadar hilangnya nyawa, tetapi juga serangan terhadap harapan, hak asasi manusia, dan keberadaan negara di sektor fundamental: pendidikan.
Kelompok yang mengklaim sebagai bagian dari TPNPB-OPM kerap menuduh korban mereka sebagai mata-mata. Pola ini terus berulang sebagai justifikasi kekerasan, penyebaran teror, dan upaya memperkuat posisi mereka di tengah masyarakat yang telah lama menghadapi krisis kepercayaan. Dalam kondisi ini, siapa pun yang membawa layanan publik atau memiliki keterkaitan dengan negara berpotensi menjadi target, baik itu guru, tenaga kesehatan, maupun pekerja infrastruktur.
Namun, tidak ada alasan yang dapat membenarkan pembunuhan warga sipil, apalagi mereka yang berada di garis depan kemanusiaan. Tuduhan sepihak tak bisa menjadi dasar untuk mencabut nyawa seseorang. Ini bukan perjuangan—ini adalah aksi terorisme.
Menolak Normalisasi Kekerasan
Sayangnya, konflik di Papua sering kali dipandang secara tidak proporsional. Negara kerap dianggap sebagai satu-satunya pelaku kekerasan, sementara tindakan brutal kelompok bersenjata justru dilihat sebagai bentuk perlawanan. Padahal, kekerasan terhadap warga sipil tetap merupakan pelanggaran hak asasi manusia, siapa pun pelakunya—baik negara maupun kelompok non-negara. Kekejaman tidak bisa dibenarkan hanya karena dibalut dalam narasi perjuangan, dan tindakan biadab harus dikutuk tanpa syarat.
Di sisi lain, pemerintah tampak ragu dalam menangani situasi di Papua, terutama di bawah tekanan sorotan internasional. Kekhawatiran akan tuduhan pelanggaran HAM membuat respons negara sering kali terlihat hati-hati dan tidak tegas, yang justru dapat melemahkan legitimasinya di mata masyarakat setempat.
Evaluasi Pendekatan Keamanan di Papua
Sudah saatnya strategi keamanan di Papua dikaji ulang. Polri harus lebih fokus pada perlindungan masyarakat, pemeliharaan ketertiban, dan penegakan hukum. Sementara TNI perlu menangani kelompok separatis bersenjata dengan cara yang terukur, profesional, dan sesuai hukum.
Namun, membangun kembali kepercayaan bukan hanya tugas aparat keamanan. Otoritas sipil memiliki peran utama dalam memastikan stabilitas dan kesejahteraan masyarakat Papua. TNI dan Polri harus memastikan bahwa tindakan mereka di lapangan tidak kontraproduktif terhadap upaya tersebut. Pendekatan represif yang berlebihan hanya akan memperpanjang siklus kekerasan dan memperdalam jurang ketidakpercayaan. Oleh karena itu, setiap pelanggaran atau tindakan berlebihan juga harus ditindak tegas, adil, dan transparan, sebagai bagian dari tanggung jawab negara dalam menegakkan hak asasi manusia.
Mencari Solusi Jangka Panjang
Kasus penyanderaan pilot Susi Air, Philip Mehrtens, yang baru berhasil diselesaikan setelah lebih dari setahun, menjadi pengingat bahwa konflik di Papua sangat kompleks. Negara memerlukan strategi jangka panjang yang tidak hanya berfokus pada pemadaman gejala, tetapi juga menyentuh akar permasalahan, seperti ketimpangan ekonomi, ketidakadilan historis, dan krisis kepercayaan.
Dalam perang narasi, propaganda paling efektif adalah yang paling mendekati realitas. Dan realitas saat ini menuntut negara untuk hadir secara adil, tegas, dan manusiawi, agar Papua bisa mendapatkan kedamaian yang berkelanjutan.