Dalam pertemuan dengan Netanyahu di Gedung Putih, Trump secara tegas menyatakan ketidaksetujuannya atas rencana militer Israel dan mendorong upaya perundingan damai dengan Teheran.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump dikabarkan menolak permintaan Israel untuk melancarkan serangan terhadap fasilitas nuklir milik Iran. Penolakan ini disampaikan langsung oleh Trump dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang berlangsung di Gedung Putih pada pekan lalu.
Informasi ini pertama kali dilaporkan oleh harian The New York Times (NYT), yang mengutip keterangan dari sejumlah pejabat pemerintahan AS. Berdasarkan laporan tersebut, Israel telah mendesak AS untuk mendukung serangan militer terhadap situs-situs nuklir Iran sejak bulan Mei. Permintaan itu datang setelah Israel menilai bahwa aktivitas nuklir Iran kian mengkhawatirkan dan berpotensi membahayakan stabilitas regional.
Menurut NYT, Israel tidak hanya menyampaikan keinginan untuk menyerang, tetapi juga telah menyusun strategi militer yang rinci. Selama beberapa bulan terakhir, negara itu dilaporkan mempersiapkan berbagai skenario, termasuk manuver-manuver militer sebagai bentuk antisipasi terhadap kemungkinan konflik terbuka dengan Iran. Namun, semua rencana tersebut mendapat penolakan tegas dari Trump.
Dalam pertemuannya dengan Netanyahu, Trump justru menyampaikan bahwa ia tidak akan mendukung upaya militer terhadap Iran dalam waktu dekat. Sebaliknya, ia menyatakan bahwa pemerintahannya tengah membuka jalur diplomasi dengan Teheran. Trump bahkan secara terbuka mengumumkan bahwa Amerika Serikat sedang menjajaki kemungkinan perundingan langsung dengan pemerintah Iran, demi menciptakan solusi damai atas ketegangan yang terus meningkat terkait isu nuklir.
Langkah ini menandai perubahan besar dalam pendekatan Washington terhadap Iran. Hubungan kedua negara sempat memburuk setelah Trump secara sepihak menarik AS keluar dari perjanjian nuklir Iran tahun 2015, yang dikenal dengan nama Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Kesepakatan tersebut sebelumnya berhasil menahan program nuklir Iran dengan imbalan pelonggaran sanksi ekonomi.
Kini, AS berusaha membuka babak baru dalam perundingan. Utusan Khusus Amerika Serikat, Steve Witkoff, dijadwalkan akan bertemu dengan Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, dalam sebuah pertemuan penting di Roma pada hari Sabtu mendatang. Pertemuan ini akan menjadi momen penting, mengingat ini adalah pertemuan tingkat tinggi pertama antara kedua negara sejak kegagalan kesepakatan 2015.
Meskipun Trump menunjukkan komitmen untuk membuka dialog, ia sebelumnya juga telah mengirimkan surat langsung kepada Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei. Surat tersebut berisi ajakan untuk melakukan pembicaraan damai, namun juga menyertakan peringatan bahwa tindakan militer tetap menjadi opsi jika negosiasi tidak membuahkan hasil.
Di sisi lain, Iran terus membantah tudingan bahwa mereka tengah mengembangkan senjata nuklir. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa negara itu telah meningkatkan kapasitas pengayaan uraniumnya sejak Amerika keluar dari JCPOA. Laporan terbaru dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengungkapkan bahwa Iran kini memiliki sekitar 274,8 kilogram uranium yang diperkaya hingga 60 persen, mendekati level pengayaan yang dibutuhkan untuk membuat senjata nuklir, yakni 90 persen. Temuan ini memicu kekhawatiran di kalangan internasional, termasuk dari pihak IAEA sendiri, yang menyatakan “keprihatinan serius” atas perkembangan tersebut.
Dengan meningkatnya ketegangan dan diplomasi yang belum sepenuhnya menghasilkan solusi, masa depan hubungan antara Iran, Israel, dan Amerika Serikat masih menjadi sorotan utama dunia internasional.